JAKARTA – Dalam ajaran Islam, penyaluran Zakat Fitrah memiliki tata cara khusus termasuk dengan tempat pembayarannya. Para ulama telah membahas secara mendalam mengenai keutamaan membagikan zakat secara langsung kepada yang berhak serta ketentuan lain yang berkaitan dengan pelaksanaannya. Keutamaan Penyaluran Zakat Fitrah Secara Langsung Menurut Imam Syafi’i, lebih utama bagi seseorang untuk membagikan zakat fitrahnya sendiri daripada menyerahkannya kepada pihak yang mengumpulkannya. [1] Dalam kitab Al-Majmu’, Imam Nawawi menjelaskan pandangan Imam Syafi’i yang menyebutkan bahwa penyaluran zakat fitrah dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat mal. Namun, lebih baik jika diberikan kepada kerabat yang berhak menerimanya selama mereka bukan tanggungan nafkahnya. [2] Imam Nawawi juga menegaskan bahwa jika seseorang menyerahkan zakat fitrah kepada pihak yang mengumpulkannya, maka hal itu tetap sah dan memenuhi kewajiban. Akan tetapi, membagikannya sendiri secara langsung lebih utama dibandingkan menyerahkannya kepada imam, petugas zakat, atau pihak lain yang mengelolanya. [3] Bolehkah Mewakilkan Pembagian dan Penyaluran Zakat Fitrah? Seseorang diperbolehkan mewakilkan zakat fitrahnya kepada orang yang dipercaya untuk menyampaikannya kepada mustahik. Namun, jika wakil tersebut bukan orang yang amanah, maka tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Al-Mu’ammal yang mendengar Ibn Abi Mulaikah menolak ide seseorang yang diperintahkan untuk menaruh zakat fitrah di masjid. Ibn Abi Mulaikah menegaskan bahwa sebaiknya zakat fitrah dibagikan langsung kepada yang berhak karena ada risiko tidak tersalurkan dengan baik jika diserahkan kepada penguasa atau pihak yang tidak amanah. [4] Imam Malik menyatakan bahwa tidak ada masalah jika seseorang memberikan zakat fitrah atas dirinya dan keluarganya kepada satu orang miskin. [5] Pemberian Zakat Fitrah dalam Jumlah Kurang dari Satu Sha’ Jika seseorang memberikan zakat fitrah dalam jumlah kurang dari satu sha’ kepada seorang fakir, maka ia harus memberitahu fakir tersebut. Hal ini untuk menghindari kemungkinan fakir tersebut mengira bahwa zakat tersebut cukup untuk ditunaikan atas dirinya sendiri, padahal jumlahnya tidak mencukupi. Selain itu, jika seorang fakir menerima zakat fitrah dalam jumlah lebih dari kebutuhannya, ia diperbolehkan untuk menyalurkan kelebihannya kepada orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau orang yang menjadi tanggungannya, asalkan jumlahnya sudah mencukupi takaran zakat fitrah yang sah. Tempat Pembayaran Zakat Fitrah Terkait lokasi pembayaran zakat fitrah, Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan bahwa zakat fitrah harus didistribusikan di tempat seseorang berada pada saat zakat tersebut wajib dikeluarkan. Hal ini berlaku baik jika harta seseorang berada di tempat lain atau tidak, karena sebab wajibnya zakat fitrah berkaitan dengan individu yang menunaikannya. [6] Dalam kitab Al-Mudawwanah, Imam Malik menjelaskan bahwa jika seseorang berasal dari Afrika tetapi dia sedang berada di Mesir saat Idulfitri, maka ia membayarkan zakat fitrahnya di Mesir. Namun, jika keluarganya telah membayarkan zakat fitrahnya di kampung halamannya, maka itu sudah mencukupi. [7] Dengan demikian, pembayaran zakat fitrah sebaiknya dilakukan di tempat di mana seseorang berada saat zakat tersebut wajib ditunaikan. Namun, dalam kondisi tertentu, jika zakat fitrah telah dibayarkan di tempat lain oleh pihak keluarga, hal tersebut tetap dianggap sah. Kesimpulan Dari berbagai pandangan ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1. Lebih utama membagikan zakat fitrah sendiri daripada menyerahkannya kepada pihak pengumpul. 2. Boleh mewakilkan zakat fitrah kepada orang yang amanah, namun tidak kepada yang diragukan kejujurannya. 3. Zakat fitrah dapat diberikan kepada satu orang miskin atau beberapa orang, sesuai dengan kebutuhan. 4. Jika memberikan kurang dari satu sha’, maka harus menginformasikan kepada penerimanya. 5. Seorang fakir yang menerima zakat fitrah lebih dari kebutuhannya boleh menyalurkannya kepada orang lain. 6. Zakat fitrah dibayarkan di tempat seseorang berada saat zakat itu wajib ditunaikan, namun boleh juga dibayarkan di tempat lain jika keluarganya sudah melakukannya. Semoga Allah memudahkan kita dalam menunaikan zakat fitrah dengan cara yang sesuai dengan tuntunan syariat dan mendapatkan keberkahan darinya. Aamiin. Penulis: Abu Utsman Surya Huda Aprila [1] Al Umm: Jilid 2 Halaman 74[2] Al Majmu’: Jilid 6 Halaman 139[3] Al Majmu’: Jilid 6 Halaman 139[4] Al Umm: Jilid 2 Halaman 74[5] Al Mudawwanah: Jilid 1 Halaman 392[6] Al-Mughni: jilid 4 Halaman 134[7] Al-Mudawwanah: jilid 1 Halaman 385 https://www.youtube.com/watch?v=rahITGmkHIY
SENJATA KAUM MUSLIMIN YANG TERABAIKAN
JAKARTA – Salah satu senjata paling praktis dan mudah digunakan, yang Allah ta’ala berikan kepada kaum muslimin namun mereka seringkali lalai dalam menggunakannya, ialah doa. Banyak di antara kita yang mengabaikannya, padahal tata cara mempraktekkannya tidaklah susah. Kita hanya tinggal mengangkat tangan kemudian mengucapkan apa yang kita inginkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Banyak di antara kita yang masih sering mengandalkan kekuatan sendiri tanpa memohon pertolongan kepada Allah ta’ala, lalai dari berdoa dan meminta kemudahan kepada-Nya. Padahal, telah kita ketahui bersama bahwa Allah-lah yang menghilangkan segala musibah, dan Dia lah Maha Kuasa atas segalanya. Namun, ya itulah kita, sering lupa dengan Allah ‘azza wa jalla. Jika kita berdoa kepada Allah, pasti Dia akan mengabulkannya, bukankah Allah ta’ala berfirman, ﴿ وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ﴾ “Rabb kalian berkata, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.’”[1] Masalahnya itu bukan apakah Allah mengabulkan doa kita atau tidak, karena jika kita berdoa pasti Allah akan mengabulkannya, namun yang jadi masalah ialah di saat kita tidak mau lagi berdoa kepada Allah ta’ala, dan hilangnya keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan doa kita. Itulah yang sebenarnya menjadi permasalahan besar. Amirul mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Yang menjadi beban pikiranku itu bukanlah pengabulan sebuah doa, akan tetapi yang menjadi beban pikiranku, ialah jika aku tidak berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mengapa demikian? Karena apabila aku berdoa pasti Dia akan mengabulkannya.”[2] Kisah Unik Seorang Ustaz Soal Senjata Kaum Muslimin Ini Ada sebuah kisah unik yang disampaikan oleh salah seorang ustaz. Beliau menceritakan, bahwa ada seorang guru perempuan di negeri padang pasir. Dia mengajar materi-materi umum untuk anak-anak kelas satu SMP di sana. Apabila azan Zuhur dikumandangkan, sang guru selalu memberhentikan proses belajar mengajar, ia menyuruh seluruh siswinya untuk menjawab azan. Setelah muazin selesai mengumandangkan azan, sang guru pun memerintahkan para siswinya untuk berdoa, dia memberikan waktu untuk berdoa selama dua sampai tiga menit antara azan dan iqomat. Mereka pun berdoa sendiri-sendiri. Setelah tiga menit berlangsung, sang guru melanjutkan kembali proses belajar mengajar. Di sana ada kejadian unik yang terjadi, yaitu selalu ada salah satu dari siswinya yang panjang doanya, sehingga ketika teman-temannya sudah selesai berdoa, dia masih saja terus berdoa. Dia begitu sangat khusyuk dan tenang ketika berdoa. Tibalah suatu hari ketika sang guru mengoreksi buku-buku pelajaran para siswinya, maka ia tidak melewatkan kesempatan ini untuk bertanya kepada si murid tadi, maka dipanggillah dia lalu ditanya oleh sang guru, “Sebenarnya kamu mempunyai keinginan apa? Kok ibu perhatikan kamu selalu telat dalam berdoa? Ketika teman-teman selesai berdoa, kamu belum selesai?” “Sejak kelas lima SD, aku ingin mempunyai adik perempuan, tapi Allah belum mengasihnya sampai sekarang, Bu. Ketika aku ceritakan hal ini kepada ibuku dia malah marah-marah kepadaku dan berkata, ‘Kamu itu salah, harusnya kamu itu minta kepada Allah adik laki-laki.’ Semenjak itu, kalau berdoa aku selalu meminta dua adik laki-laki dan satu adik perempuan, aku khawatir adik laki-lakiku kelak kesepian, sehingga aku meminta ke Allah dua adik laki-laki.” Jawabnya dengan nada yang polos. Setelah mendengar cerita dari muridnya, sang guru pun tersenyum karena kepolosan bocah itu dalam menjawab, kemudian disuruhlah dia untuk kembali ke tempat duduknya. Hari demi hari berlalu. Tahun berganti tahun, sang anak pun sudah tumbuh besar, dan sang guru mulai lupa dengannya. Dia bercerita, “Sekitar satu atau dua tahunan setelah dia bercerita, aku lupa tentang obrolan yang cukup singkat tadi. Suatu hari datang kepadaku seorang gadis berwajah cantik dan membawa aura penuh dengan kegembiraan, dia menyapaku dan langsung menceritakan kabar gembira yang telah ia alami, ‘Bu guru… bu guru… masih ingatkah denganku, atau tidak? Tau ndak, Alhamdulillah, ibuku telah melahirkan tiga anak kembar, yang satu perempuan dan dua lainnya lakilaki.’ Spontan aku langsung terdiam dan takjub dengan kabar tersebut, itu adalah kabar yang dia ceritakan dua tahun silam di hadapanku!” Maa syaa Allah…!! Dari kisah di atas bisa kita ambil beberapa pelajaran, di antaranya ialah jangan pernah meremehkan sebuah doa. Ingatlah, kekuatan doa itu sangat besar. Janganlah pernah kita putus asa ketika berdoa, karena Allah pasti akan mengabulkannya di waktu yang tepat. Lihatlah kembali kisah di atas, doa sang anak baru Allah kabulkan ketika telah berlalu dua tahun lamanya, subhanallah! “Doa itu tidak membutuhkan biaya dan tenaga yang ekstra, doa hanyalah mengangkat tangan dan menghadirkan hati antum kepada Allah ta’ala. Janganlah pernah meremehkan kekuatan doa. Jika kita semakin banyak berdoa, maka Allah akan senang dengan kita, dan sebaliknya, jika kita jarang sekali berdoa, bahkan sampai tidak pernah sama sekali, maka sangat dikhawatirkan Allah ta’ala tidak akan senang dengan kita.”[3] Yakinlah, bahwa Allah pasti akan mengabulkan doa kita, jika tidak di dunia, pasti di akhirat, atau mungkin akan menggantinya dengan yang lebih baik dari yang kita pinta. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memotivasi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah dalam keadaan yakin, اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالإِجَابَةِ. وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لَا يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ. “Berdoalah kalian kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.”[4] Ditulis oleh:Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H [1] QS. Ghafir: 60.[2] HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Maajah dan dihasankan oleh syaikh al-Albani. Bisa pula dilihat pada kitab: ‘Asyru Qowaa’id Fii Tazkiyyah an-Nafs, Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr (hal. 13).[3] Ust. Abdullah Zaen, 2 Desember 2014.[4]HR. At-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. https://www.youtube.com/watch?v=rahITGmkHIY
KAPAN DIKELUARKAN ZAKAT FITRAH DAN SIAPA PENERIMANYA
JAKARTA – Zakat fitrah wajib dikeluarkan sebelum pelaksanaan salat Idulfitri. Waktu yang paling utama untuk mengeluarkan zakat ini adalah pada pagi hari sebelum pelaksanaan salat Idul Fitri. Dalam hadis disebutkan, أن النبي ﷺ ” أَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ Bahwa Rasulullah ﷺ “memerintahkan untuk membayarnya sebelum orang-orang keluar untuk salat” (HR. Bukhari, 1407). Waktu yang Dianjurkan dan Diperbolehkan Saat Zakat Fitrah Waktu yang dianjurkan adalah pagi hari sebelum salat Idul Fitri. Hal ini sesuai dengan sunnah yang dianjurkan agar para penerima dapat memanfaatkannya pada hari raya. Oleh karena itu, salat Idulfitri disunnahkan untuk sedikit diundur agar memberi kesempatan kepada umat Islam untuk menunaikan zakat fitrah. Waktu yang diperbolehkan adalah satu atau dua hari sebelum hari raya. Dalam hadis, وكانَ ابنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عنْهما يُعْطِيها الَّذِينَ يَقْبَلُونَها، وكانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الفِطْرِ بيَومٍ أوْ يَومَيْنِ “Dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fitrah kepada orang-orang yang menerimanya, dan mereka memberikannya satu atau dua hari sebelum Idulfitri.” (HR. Bukhari, 1511) Larangan Menunda Pembayaran Zakat Fitrah Menunda pembayaran zakat fitrah hingga setelah salat Idulfitri hukumnya makruh, dan menurut sebagian ulama bahkan haram. Jika ditunda hingga setelah salat, maka zakat tersebut dianggap sebagai sedekah biasa, bukan zakat fitrah yang sah. Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ “Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat maka zakatnya diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah salat, maka itu hanya dianggap sebagai sedekah biasa” (HR. Abu Dawud, 1371). Maka jika seseorang ingin memberikan zakat fitrah kepada penerima tertentu tetapi tidak menemukannya, ia harus segera memberikan zakat kepada orang lain yang berhak agar tidak melewati waktu yang ditentukan. Jika seseorang mewakilkan pembayaran zakat kepada orang lain, maka tanggung jawabnya belum gugur sampai ia memastikan bahwa wakil tersebut benar-benar telah menunaikannya. Penerima Zakat Fitrah Terdapat dua pendapat utama mengenai siapa yang berhak menerima zakat fitrah: 1. Pendapat Mayoritas Ulama: Zakat fitrah disalurkan kepada delapan golongan penerima zakat sebagaimana zakat mal, yaitu: fakir, miskin, amil zakat, mualaf, budak (riqab), orang yang berhutang (gharim), orang yang berjuang di jalan Allah (fisabilillah), dan musafir yang kehabisan bekal (ibnu sabil). Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama termasuk Imam Syafi’i. Berkata Imam Syafi’i Rahimahullah: وَتُقْسَمُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى مَنْ تُقْسَمُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْمَالِ لا يُجْزِئُ فِيهَا غَيْرُ ذَلِكَ “Dan zakat fitrah dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat mal, tidak sah jika diberikan kepada selain mereka.” [1] 2. Pendapat Mazhab Maliki dan Sebagian Ulama Hambali: Zakat fitrah khusus diberikan kepada fakir miskin saja. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa zakat fitrah dan zakat mal tidak boleh diberikan kepada orang kafir. [2] Penerima utama zakat fitrah adalah orang-orang fakir dan miskin yang tidak memiliki cukup penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang memiliki hutang yang tidak mampu dilunasi atau mereka yang penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hingga akhir bulan. Kesimpulan Zakat fitrah memiliki waktu pembayaran yang dianjurkan, yaitu sebelum salat Idulfitri, dan waktu yang diperbolehkan, yaitu satu atau dua hari sebelumnya. Keterlambatan dalam membayar zakat fitrah tanpa alasan yang dibenarkan dapat menyebabkan zakat tersebut tidak sah. Adapun penerima zakat fitrah, menurut mayoritas ulama, sama dengan penerima zakat mal, sedangkan menurut pendapat lain, zakat fitrah sebaiknya hanya diberikan kepada fakir miskin agar mereka dapat merayakan Idulfitri dengan lebih baik. Wallahu A’lam Penulis: Abu Utsman Surya Huda Aprila [1] Lihat: Al Umm: Jilid 2 halaman 74[2] Lihat: Al-Majmu’: Jilid 6 halaman 228 https://www.youtube.com/watch?v=rahITGmkHIY
SA’ID BIN AMIR SEORANG PEMIMPIN YANG FAKIR
JAKARTA – Bismillaah, wal hamdulillaah, wash sholaatu was salaamu’alaa rasulillah, amma ba’d: Dahulu, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu pernah melantik Sa’id bin Amir al-Jumahi radhiyallahu’anhu menjadi seorang pemimpin di Himsho (Homs), sebuah daerah yang berada di Suriah. Pada suatu hari, ada beberapa utusan dari Himsho mendatangi Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu untuk suatu tugas. Ketika mereka sudah sampai di kediaman Umar, maka beliau berkata, اُكْتُبُوا لِي أَسْمَاءَ فُقَرَائِكُمْ لِأُعْطِيَهُمْ مِن مَالِ الْمُسْلِمِيْنَ. “Kalian tulislah untukku nama-nama orang fakir yang ada di antara kalian, supaya aku bisa memberikan harta untuk mereka dari simpanan kaum muslimin.” Mereka pun menulis nama-nama tersebut, dan di dalamnya terdapat nama Sa’id bin Amir. Ketika Umar mengetahui hal tersebut, maka ia bertanya untuk memastikan, “Siapakah Sa’id bin Amir ini yang kalian maksud?” Mereka menjawab, “Beliau adalah pemimpin kami.” “Pemimpin kalian termasuk dari orang-orang yang fakir?!” Tanya Umar heran. Mereka menjawab, نَعَمْ، وَاللهِ إِنَّه تَمُرُّ عَلَيْهِ الأَيَّامُ الطَّوِيْلَةُ مَا تُوقَدُ فِي بَيْتِهِ نَارٌ. “Iya, beliau pemimpin kami. Demi Allah, sudah banyak hari-hari yang berlalu sementara tak terlihat api di dalam rumahnya.” Mendengar apa yang disampaikan oleh mereka, Umar pun menangis, kemudian menaruh seribu dirham ke dalam sebuah kantong untuk diberikan kepada Sa’id bin Amir, seraya berkata, أَعْطُوهُ هَذِهِ الدَّنَانِيْرَ لِيَعِيْشَ مِنْهَا. “Berikan dinar yang banyak ini kepadanya, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.” Mereka pun menerima dinar tersebut, kemudian kembali ke Himsho. Ketika sampai di kediaman Sa’id bin Amir, mereka memberikan kantong yang berisi dinar tersebut kepadanya. Setelah menerima dan membuka isinya, Sa’id pun berkata, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun!” Ucapannya ini didengar oleh sang istri, maka ia pun bertanya, مَا الأَمْرُ؟ هَلْ تُوُفِّيَ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ “Apa yang terjadi wahai suamiku, apakah Amirul Mukminin (Umar) telah wafat?” Beliau menjawab, الأَمْرُ أَعْظَم مِنْ ذَلِكَ، دَخَلَتْ عَلَيَّ الدُنْيَا لِتُفْسِدَ آخِرَتِي. “Perkaranya jauh lebih besar (jauh lebih dahsyat) dari itu. Dunia mulai menghampiriku dan mulai untuk menghancurkan akheratku.” Istrinya berkata, “Berlepas dirilah engkau darinya! Jangan sampai itu terjadi!” Saat itu, sang istri tidak mengetahui sama sekali apa itu dinar. Jadi, dia benar-benar wanita yang sangat zuhud pada saat itu. Amir pun bertanya kepada istrinya, أَوَ تُسَاعِدِيْنَنِي عَلَى ذَلِكَ؟ “Apakah engkau mau membantuku untuk berlepas diri darinya, wahai istriku?” “Iya, mau,” jawab sang istri. Maka, mereka pun membagikan dinar-dinar tersebut kepada para fakir miskin dan sisanya untuk kaum muslimin pada umumnya.[1] Faedah Kisah Umar Umar bin al-Khaththab dan Sa’id bin Amir al-Jumahi:[2] 1. Pentingnya sifat amanah bagi seorang pemimpin Faedah yang pertama ini kita ambil dari hebatnya sikap Umar terhadap rakyatnya. Sangat perhatian dan begitu dermawan. Tidak ingin sama sekali ada rakyatnya yang hidup susah. Inilah bentuk dari menjalankan amanah bagi seorang pemimpin. Amanah merupakan suatu hal yang besar di sisi Allah, suatu yang agung dalam agama Islam, merupakan sifat orang yang beriman, dan menjadi ciri khas sifat yang membembedakan antara orang mukmin dan munafiq. Dalam sebuah riwayat disebutkan, لَا إِيْمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَه، وَلا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ. “Rusaklah keimanan seseorang yang tidak menjalankan amanah, rusaklah agama seseorang yang tidak menepati janjinya.”[3] Allah ta’ala mengingatkan, ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾. “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghianati Allah dan Rasul-Nya, jangan pula kalian menghianati amanah kalian padahal kalian mengetahuinya.”[4] Contoh berkhianat kepada Allah: murtad. Contoh berkhianat kepada Rasul: merubah atau mengurangi, atau menambah-nambah syariat beliau. Timbul pertanyaan, “Siapa sajakah yang tidak boleh berkhianat?” jawabannya; semua orang. Mereka tidak boleh berkhianat atas amanah yang diberikan kepadanya, terlebih lagi seorang pemimpin, di mana ia memikul beban amanah yang jauh lebih berat lagi banyak. Kelak, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. فَالأَمِيرُ الَّذِي على النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ. أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. “Ketahuilah, setiap dari kalian adalah pemimpin, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Al-Amir (pemimpin negara) yang memimpin banyak manusia, kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang suami yang memimpin keluarganya di rumah, juga akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang istri yang memimpin (mengurus) rumah dan anak-anaknya juga akan dimintai pertanggungjawaban. Bahkan sampai seorang budak pun akan dimintai pertanggungjawaban atas penjagaan harta tuannya. Ketahuilah, setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian kelak akan ditanya atas kepemimpinannya.”[5] 2. Pentingnya memperhatikan keadaan orang-orang fakir di sekitar kita Terlebih bagi kita yang memiliki kelebihan harta. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar, ketika mengetahui bahwa ada rakyatnya, bahkan gubernurnya yang fakir, beliau langsung memberikan seribu dinar. Nggak tanggung-tanggung. Inilah kriteria orang fakir yang paling pantas untuk kita beri, yaitu mereka yang tidak minta-minta dan tidak kelihatan miskin. Demikianlah yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an, ﴿ لِلْفُقَرَآءِ الَّذِيْنَ أُحْصِرُوا في سَبِيلِ اللهِ لَا يَسْتَطِيْعُونَ ضَرْبًا فِي الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الجاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمَاهُمْ لَا يَسْألُونَ النَّاسَ إِلْحَافًاۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ ﴾. “(Apa yang engkau infakkan itu) adalah untuk orang-orang fakir[6] yang terhalang (usahanya karena berjihad) di jalan Allah, sehingga mereka tidak bisa bekerja di bumi. (Orang lain) yang tidak tahu mengira, bahwa mereka adalah orang-orang kaya, dikarenakan tidak meminta-minta. Engkau (wahai Muhammad) mengenali mereka beserta ciri-cirinya. Mereka tidak meminta bantuan secara paksa kepada orang lain. Harta apapun yang kalian infakkan untuk mereka, sungguh, Allah Maha Mengetahuinya.”[7] Orang yang perlu kita perhatikan yang pertama kali yaitu keluarga, setelah itu barulah tetangga. Sebisa mungkin jangan sampai ada tetangga yang kelaparan, sementara kita kekenyangan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengingatkan, لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ. “Bukanlah termasuk seorang mukmin; orang yang perutnya kenyang sementara tetangganya kelaparan.”[8] 3. Lembutnya hati sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam Faedah ini kita ambil ketika Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu menangis melihat keadaan salah satu gubernurnya yang miskin. Padahal, beliau terkenal dengan ketegasannya, namun ketika melihat saudaranya yang seiman dan seakidah berada dalam kesusahan hidup, beliau tersentuh hatinya hingga meneteskan air mata. Tentu, hal ini menunjukkan bahwa hati beliau sangat lembut, dan air mata yang jatuh menunjukkan kelembutan hati seseorang. Bagaimana supaya hati kita bisa lembut? Di antara caranya
UKURAN ZAKAT FITRAH DAN JENIS MAKANAN YANG DIKELUARKAN DARINYA
JAKARTA – Ukuran zakat fitrah adalah satu sha’ (صاع) makanan, yang setara dengan apa yang dapat dipenuhi oleh ukuran sha’ yang digunakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Satu sha’ adalah empat cakupan penuh telapak tangan berukuran sedang. Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id al-Khudri, beliau mengatakan: كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ “Kami memberi zakat fitrah pada zaman Nabi ﷺ dengan menggunakan satu sha’ makanan.” (HR. Bukhari No. 1412). Sha’ adalah ukuran volume yang dipakai pada masa Nabi ﷺ bukan berat, karnanya sulit dikonversikan ke dalam ukuran berat dan juga beratnya akan bervariasi tergantung jenis bahan makanan yang digunakan. Sehingga dalam bentuk kehati hatian para ulama menyarankan untuk mengeluarkan satu sha’ berisi sekitar 2.5 sampai 3 kilogram. Jenis Bahan Makanan sebagai Bagian Ukuran Zakat Fitrah Zakat fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan hadits dari Ibn Umar yang berkata: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ “Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum untuk setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, baik budak atau merdeka dari kalangan umat Islam.” (HR. Bukhari No. 1408). Dari hadits ini, kita mengetahui bahwa makanan yang dikeluarkan dalam ukuran zakat fitrah bisa berupa kurma, gandum, biji bijian seperti beras, atau jenis makanan lainnya yang umum dimakan oleh orang setempat. Selain itu, Abu Sa’id al-Khudri juga mengabarkan, pada masa Nabi ﷺ mereka mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan seperti kurma, gandum, kismis, dan keju (HR. Bukhari No. 1414).Maka, zakat fitrah bisa dikeluarkan menggunakan bahan pangan utama yang dimakan oleh masyarakat setempat, seperti beras, gandum, kacang, jagung, dan sebagainya. Pandangan Ulama tentang Zakat Fitrah Para ulama berbeda pendapat tentang bahan makanan yang boleh digunakan untuk zakat fitrah. Sebagian ulama, seperti Imam Syafi’i mengatakan, bahan makanan yang digunakan haruslah dari makanan pokok yang terdapat dalam masyarakat, yang wajib dikeluarkan dari hasil pertanian dan memiliki zakat dalam bentuk ‘usyr (sepuluh persen) seperti gandum, padi, dan biji-bijian lainnya. [1] Imam al-Mawardi juga menambahkan bahwa meskipun masyarakat menggunakan bahan makanan lain yang tidak memiliki zakat seperti ikan, telur, atau daging, ini tidak dapat digunakan untuk zakat fitrah. [2] Imam Ibn Qayyim menjelaskan lebih lanjut bahwa meskipun ada perbedaan pandangan mengenai jenis makanan yang bisa digunakan untuk zakat fitrah, namun yang lebih tepat adalah mengeluarkan zakat dari makanan pokok yang menjadi konsumsi mayoritas masyarakat setempat. [3] Ukuran Zakat Fitrah dalam Bentuk Uang: Apa Hukumnya? Meskipun beberapa orang mungkin berpendapat bahwa memberi zakat fitrah dalam bentuk uang lebih bermanfaat bagi penerimanya, karena mereka bisa membeli apa saja yang mereka butuhkan, namun mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang tidak dibolehkan. Zakat fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini dikarenakan zakat fitrah adalah makanan untuk memenuhi kebutuhan dasar orang miskin di hari raya, bukan sekadar memberikan uang untuk membeli barang. Mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang tidak dapat menepati tujuan dari zakat ini, yaitu memberikan manfaat langsung berupa makanan yang dapat dikonsumsi oleh orang miskin, terutama pada hari raya idul fitri. Selain itu, bentuk makanan lebih mudah terukur dan lebih mudah disalurkan ke orang miskin sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, meskipun zakat mal atau jenis zakat lainnya bisa dikeluarkan dalam bentuk uang, zakat fitrah harus tetap dikeluarkan dalam bentuk makanan. Kesimpulan Dalam ukuran zakat fitrah, kita harus mengikuti ketentuan yang telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu mengeluarkan makanan pokok yang sesuai dengan jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat, seperti beras, gandum, kurma, atau kismis. Mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang atau non-makanan tidak sesuai dengan syariat Islam dan tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, kita hendaknya memastikan zakat fitrah yang kita keluarkan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam, yaitu satu sha’ makanan yang bermanfaat langsung bagi penerima zakat pada hari raya. Wallahu a’lam Semoga bermanfaat Penulis: Abu Utsman Surya Huda Aprila [1] Lihat: Al Umm Jilid 2 halaman 75[2] Lihat: Al Majmu’ Jilid 6 halaman 131[3] Lihat: I’lamul Muwaqqi’in Jilid 2 Halaman 289 – 290 https://www.youtube.com/watch?v=95ecx0Q1ShE
BEBERAPA HAL PENTING YANG BERKAITAN DENGAN SAFAR
JAKARTA – Setiap orang yang merantau, jauh dari kampung halamannya atau safar, pasti suatu hari nanti dia ingin bisa kembali lagi ke rumah. Duduk bersama dengan keluarga, bercengkrama bersama membicarakan hal-hal indah yang selama ini telah terangkai dalam satu cerita. Kita harus tahu beberapa hal penting yang berkaitan dengan safar, dengan harapan safar kita bisa diberkahi oleh Allah ta’ala dan kita dilindungi oleh-Nya selama dalam perjalanan: 1. Berdoa Hal penting pertama yang harus kita perhatikan ketika akan safar, ialah berdoa. Meminta perlindungan hanya kepada Allah ‘azza wa jalla. Bukan kepada selain-Nya. Mengapa kita harus berdoa kepada Allah? Jawabannya ialah karena: Allah-lah Dzat Yang Maha Pelindung. Meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ketika seorang hamba meminta perlindungan kepada selain Allah (semisal kepada setan atau dengan membawa benda-benda keramat yang diyakini akan kemistikannya), maka yang seperti ini bisa masuk dalam perbuatan syirik. Perhatikan firman Allah berikut ketika menceritakan tentang keadaan kaum Musyrikin, ﴿ وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ ﴾ “Mereka (orang-orang musyrik) menyembah (berdoa) kepada selain Allah yang tidak bisa sama sekali menimpakan mudarat maupun mendatangkan manfaat, dan mereka mengatakan, ‘Ini semua (berhala yang kami sembah) tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai pemberi syafaat kami kelak di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18). Tentu, ini adalah perbuatan syirik yang harus dijauhi oleh kaum Muslimin. Sudah seharusnya mereka berdoa hanya kepada Allah, karena memang hanya Dia-lah Yang mampu memberikan keselamatan. Dia-lah Yang mampu mencegah kemudaratan. Adapun bentuk dari meneladani Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, ialah berdoa sesuai dengan apa yang beliau ajarkan. Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam ketika safar, ialah: سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ Cara membaca doa dengan huruf latin:[ Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamun-qolibuun Allahumma innaa nas’aluka fii safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli. ] Artinya:“Mahasuci Allah yang telah menundukkan (kendaraan ini) untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hal-hal yang kurang mengenakan dalam perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga.” (HR. Muslim, no. 1342). Dianjurkan pula bagi orang yang hendak bersafar untuk mendoakan orang yang akan ia tinggalkan. Doa tersebut berbunyi, أَستَودِعُكَ اللهَ الَّذِي لَا تَضِيعُ وَدَائِعُهُ. “Kutitipkan engkau kepada Allah, Dzat yang tidak akan menyia-nyiakan sesuatu yang dititipkan pada-Nya.” (HR. Ibnu Majah, no. 2825. Dinilai shahiih oleh Syekh al-Albani). 2. Jangan safar sendirian Apabila kita ingin bepergian jauh atau safar sebisa mungkin jangan sendirian. Selain untuk jaga-jaga dari kejahatan yang datang secara tiba-tiba, dengan adanya orang lain yang bersafar bersama kita akan membuat susasana menjadi “hidup” dan bisa untuk saling mengingatkan kebaikan atau mencegah kemungkaran. Sangat dikhawatirkan jika seseorang bersafar sendirian, dia akan lebih mudah tergoda oleh setan, sehingga sangat mudah untuk melakukan perbuatan maksiat. Terlebih lagi di malam hari. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengingatkan, لو يَعْلَمُ الناسُ مَا فِي الوَحْدَةِ مَا أعلَمُ، ما سَارَ رَاكبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ. “Andaikan orang-orang mengetahui akibat dari safar sendirian sebagaimana yang aku ketahui, niscaya mereka tidak akan bersafar sendirian di malam hari.” (HR. Al-Bukhari, no. 2998). Hadis di atas menunjukkan kepada kita, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memperingatkan kita untuk tidak melakukan perjalanan jauh di malam hari secara sendirian. Hal ini dikarenakan banyaknya keburukan dan hal-hal yang membahayakan di waktu tersebut. Selain itu, di waktu malam merupakan momen para setan bersebaran.[1] Dalam riwayat lain juga disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda, الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ، وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ، وَالثَّلَاثَةُ رَكْبٌ “Orang yang berkendaraan (bersafar) sendirian adalah setan, demikian orang yang bersafar hanya dua orang. Adapun yang bertiga, itulah orang yang bersafar dengan benar.” (HR. Abu Dawud, no. 2607, at-Tirmidzi, no. 1674, an-Nasa’i, no. 8798 dan Ahmad, no. 6748. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani dalam Sunan Abi Dawud). Hadis ini menjelaskan kepada kita, bahwa hendaknya bersafar itu jangan sendirian, karena safar sendirian merupakan salah satu kebiasaan setan, dan biasanya ketamakan seseorang semakin bertambah ketika sedang sendirian. Apabila dia meninggal di tengah perjalanan, sangat dikhawatirkan tidak ada yang mengurus jenazahnya. Demikian pula dengan orang yang bersafar hanya berjumlah dua orang. Biasanya setan dengan leluasa menggoda salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Berbeda halnya ketika berjamaah.[2] Oleh karena itu, bersafarlah dengan orang lain. Paling minimal berjumlah tiga orang. Dan jangan lupa, bersafarlah dengan orang-orang saleh, yang senantiasa mengingatkan kita pada kebaikan. Dengan demikian, safar kita akan diberkahi oleh Allah ‘azza wa jalla, insya Allah. 3. Dibolehkannya jamak qashar dalam salat Ketika seseorang melakukan perjalanan jauh,[3] maka dia mendapatkan keringanan dari syariat, yaitu berupa diperbolehkannya bagi dia untuk menjamak salat dan meng-qashar-nya. Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma pernah menceritakan, صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ “Aku pernah menemani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam safar, dan beliau tidak pernah menambah jumlah rakaat salat lebih dari dua rakaat. Demikian pula dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Semoga Allah meridai mereka semua.” (HR. Al-Bukhari, no. 1102 dan Muslim, no. 689). Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah mengatakan, والقَصْرُ سَبَبُهُ السَّفَر خَاصَّة، لَا يَجُوز فِي غَير السَّفَر “Diperbolehkannya meng-qashar salat hanya ketika sedang safar. Tidak boleh melakukannya di selain safar.”[4] 4. Menyibukkan diri dengan hal-hal bermanfaat selama
SIAPA YANG DIWAJIBKAN MEMBAYAR ZAKAT FITRAH?
JAKARTA – Setiap muslim diwajibkan membayar zakat fitrah, baik pria maupun wanita, kecil maupun besar, baik yang merdeka maupun hamba. Hal ini berdasarkan hadis dari Ibnu Umar. Hadis tersebut berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum kepada orang merdeka, hamba sahaya, pria, wanita, anak-anak, dan orang tua dari kalangan kaum Muslimin.” (HR. Bukhari 1407) Imam Syafi’i juga menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm bahwa zakat fitrah hanya diwajibkan bagi orang Muslim, sesuai dengan petunjuk dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa zakat adalah penyucian bagi orang-orang muslim. Oleh karena itu, zakat fitrah tidak diwajibkan bagi non-Muslim karna tidak ada penyucian baginya. [1] Membayar Zakat Fitrah Wajib Bagi yang Mampu (Mampu Secara Ekonomi) Membayar zakat fitrah diwajibkan hanya bagi mereka yang mampu. Imam Syafi’i menjelaskan dalam Al-Umm bahwa seseorang yang telah memiliki makanan untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya pada hari raya Idul Fitri, maka ia wajib mengeluarkan zakat fitrah. Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki kelebihan dari kebutuhan pokok untuk dirinya dan keluarganya, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah. [2] Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa orang yang tidak mampu atau kesulitan (mu’sir) tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah. Ia juga menegaskan bahwa yang menjadi patokan adalah kondisi pada saat diwajibkannya zakat fitrah, yaitu pada akhir bulan Ramadan dan pada hari raya Idul Fitri. Jika seseorang tidak memiliki kelebihan dari kebutuhan pokok, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah. [3] Kewajiban Membayar Zakat Fitrah untuk Orang yang menjadi Tanggungannya Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh seorang Muslim atas dirinya sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti istri, anak-anak, dan orang tua yang hidup bersamanya, jika mereka tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi jika mereka mampu maka lebih baik mereka mengeluarkannya sendiri. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah atas setiap Muslim, baik hamba maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar.” (HR. Bukhari 1407) Imam Syafi’i dalam Al-Umm juga menyatakan bahwa wali dari orang yang tidak mampu, seperti anak-anak atau orang gila, wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk mereka. [4] Urutan Prioritas dalam Membayar Zakat Fitrah Seorang Muslim harus mengutamakan mengeluarkan atau membayar zakat fitrah terlebih dahulu untuk dirinya sendiri, kemudian untuk istri dan anak-anaknya yang masih kecil dan tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah. Jika ada anggota keluarga yang tidak mampu, maka wajib dikeluarkan zakat fitrah untuk mereka. Berikut adalah urutan prioritas dalam menunaikan zakat fitrah: Diri sendiri Istri (jika tidak mampu) Anak-anak yang masih di bawah tanggungannya Orang tua yang tidak mampu Kerabat lainnya sesuai dengan hubungan darah, mulai dari yang terdekat Zakat Fitrah atas Anak yang Baru Lahir dan Kewajiban Zakat Fitrah atas Janin Membayar zakat fitrah diwajibkan untuk setiap orang yang sudah lahir sebelum terbenamnya matahari pada malam Idul Fitri. Oleh karena itu, jika seorang bayi lahir setelah terbenamnya matahari pada malam Idul Fitri, maka orang tuanya tidak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk bayi tersebut. Namun, jika bayi tersebut lahir sebelum matahari terbenam pada akhir Ramadan, maka zakat fitrah tetap wajib dikeluarkan atas nama bayi tersebut. Terkait dengan janin yang masih dalam kandungan, tidak ada kewajiban zakat fitrah bagi janin tersebut. Namun, jika seseorang ingin bersedekah atau menunaikan zakat fitrah untuk janin dalam kandungan, maka tidak ada larangan untuk melakukannya sebagai bentuk amal sunnah. Zakat Fitrah Bagi Orang yang Baru Masuk Islam Bagi seseorang yang baru masuk islam sebelum terbenam matahari di akhir bulan romadhon maka dia wajib mengeluarkan zakat fitrahnya, walaupun dia tidak berpuasa romadhon, tapi jika dia masuk islam setelah terbenam matahari di akhir bulan romadhon maka dia tidak diwajibkan membayar zakat. [5] Kewajiban Zakat Fitrah bagi Orang yang Meninggal Sebelum Melaksanakan Zakat Fitrah Jika seseorang meninggal sebelum sempat mengeluarkan zakat fitrah, maka zakat fitrah tersebut harus dikeluarkan dari harta warisannya. Ini berlaku meskipun orang tersebut sudah meninggal setelah kewajiban zakat fitrah berlaku dengan terbenamnya matahari di akhir bulan romadhon. Begitu juga, jika orang yang menjadi tanggungan seseorang meninggal setelah kewajiban zakat fitrah berlaku, maka zakat fitrah tersebut tetap harus dikeluarkan oleh orang yang berkewajiban. Membayar Zakat Fitrah bagi Pekerja Harian Bagi seorang pekerja harian atau buruh yang memiliki penghasilan tetap harian atau bulanan, ia diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah selama ia mampu. Jika seorang pekerja tersebut tidak memiliki kelebihan harta untuk mengeluarkan zakat fitrah, maka ia tidak diwajibkan untuk menunaikannya. Kesimpulan Zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu dan merupakan salah satu bentuk penyucian diri di akhir bulan Ramadan. Zakat fitrah harus dikeluarkan atas nama diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti istri, anak-anak, dan orang tua yang tidak mampu. Artikel ini merupakan bagian kedua dalam serial zakat fitrah. Semoga Bermanfaat Penulis: Abu Utsman Surya Huda Aprila [1] Lihat Al umm: Jilid 2 hal 67[2] Lihat Al umm: Jilid 2 hal 71[3] Al-Majmu’: Jilid 6 Hal 110[4] Lihat Al umm: Jilid 2 hal 69[5] Lihat: Al-Mughni, Jilid 4 Hal 298 https://www.youtube.com/watch?v=A-3qx_kDlJo
AMALAN DAN ADAB DI HARI RAYA IDUL FITRI
JAKARTA – Hari Raya Idul Fitri adalah momen kemenangan bagi umat Muslim setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadan. Lalu, ada pula sejumlah amalan serta adab menyambut hari istimewa ini. Alhamdulillah. Hari raya Idul Fitri adalah hari-hari kebahagiaan dan kegembiraan bagi umat Islam. Pada hari raya Idul Fitri, terdapat beberapa amalan, adab, dan kebiasaan yang dianjurkan, di antaranya: 1. Mandi Sebelum Shalat Id Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat ke shalat Id, sebagaimana telah diriwayatkan dari beberapa sahabat. Seorang laki-laki bertanya kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tentang mandi, lalu beliau menjawab, “Mandilah setiap hari jika engkau mau.” Kemudian orang itu bertanya lagi, “Maksud saya mandi yang disyariatkan.” Ali menjawab, “Hari Jumat, Hari Arafah, Hari Idul Adha, dan Hari Idul Fitri.” (HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (Hal 385) dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam (Irwaul-Ghalil Jilid 1 Hal 176). 2. Mengenakan Pakaian Terbaik Disunnahkan mengenakan pakaian terbaik di hari raya Idul Fitri. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengambil jubah sutra yang dijual di pasar dan membawanya kepada Rasulullah ﷺ seraya berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini untuk engkau kenakan pada hari raya dan saat menerima tamu.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ini adalah pakaian orang yang tidak memiliki bagian (di akhirat).” (HR. Bukhari no 906 dan Muslim no 2068). Imam Ibn Qudamah dalam (Al-Mughni Jilid 2 Hal 370) menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa berhias pada hari raya sudah menjadi kebiasaan para sahabat. Hal ini juga diperkuat oleh Imam Ibn Rajab dalam (Fath al-Bari Jilid 6 Hal 67) yang menyatakan bahwa berhias di hari raya adalah sesuatu yang umum dilakukan oleh kaum Muslimin sejak zaman sahabat. 3. Menggunakan Wewangian Dianjurkan untuk memakai wewangian pada hari raya. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa beliau biasa memakai wewangian pada hari Idul Fitri (Ahkam al-‘Idain oleh Al-Firyabi hal 83). Imam Ibnu Rajab juga menyebutkan dalam kitab bahwa Imam Malik mengatakan para ulama menyukai penggunaan wewangian dan berhias pada setiap hari raya. Pendapat ini juga dianjurkan oleh Imam Asy-Syafi’i.(Lihat Fath al-Bari Jilid 6, Hal 68) Namun, bagi wanita yang keluar rumah, mereka tidak boleh memakai wewangian atau pakaian yang mencolok agar tidak menimbulkan fitnah. 4. Bertakbir Dianjurkan memperbanyak takbir pada hari raya Idul Fitri. Allah berfirman: (وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) “Agar kalian menyempurnakan bilangan (puasa Ramadan) dan agar kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185). Takbir Idul Fitri dimulai sejak malam hari setelah melihat hilal Syawal hingga imam keluar untuk shalat Id. 5. Saling Berkunjung dan Menjalin Silaturahmi Salah satu kebiasaan baik di hari raya adalah saling berkunjung ke keluarga, tetangga, dan sahabat untuk mempererat silaturahmi. Disebutkan bahwa salah satu hikmah dari sunnah menempuh jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari shalat Id adalah untuk menyapa lebih banyak orang dan menyebarkan salam. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Nabi ﷺ pada hari raya mengambil jalan yang berbeda saat pergi dan pulang dari shalat.” (HR. Bukhari no 943). Imam Ibn Hajar dalam (Fath al-Bari jilid 2 hal 473) menyebutkan bahwa di antara hikmah sunnah ini adalah agar Rasulullah ﷺ dapat menjalin silaturahmi lebih luas. 6. Mengucapkan Ucapan Selamat atau Tahniah Dianjurkan untuk saling mengucapkan selamat dengan ucapan yang baik. Salah satu ucapan yang paling utama adalah: “Taqabbalallahu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima amal kami dan amal kalian). Dari Jubair bin Nufair, ia berkata: كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك “Para sahabat Nabi ﷺ ketika bertemu di hari raya saling mengucapkan, ‘Taqabbalallahu minna wa minkum’.” (Dinyatakan hasan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari jilid 2 hal 517). 7. Hiburan yang Diperbolehkan Diperbolehkan bersenang-senang dengan hiburan yang tidak melanggar syariat, seperti permainan yang mubah, bepergian ke tempat wisata halal, atau mendengarkan nasyid tanpa alat musik haram. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Nabi ﷺ masuk ke rumahku dan di dalamnya ada dua budak wanita yang sedang menyanyikan lagu perang Bu’ats. Beliau berbaring dan memalingkan wajahnya. Kemudian Abu Bakar masuk dan membentakku, seraya berkata: ‘Seruling setan di rumah Rasulullah?’ Maka Rasulullah ﷺ menoleh kepadanya dan berkata: ‘Biarkan mereka, wahai Abu Bakar.’” (HR. Bukhari no 907 dan Muslim no 829). Imam Ibn Hajar dalam (Fath al-Bari jilid 2 hal 514) menyatakan bahwa di antara hikmah hadis ini adalah anjuran untuk bersenang-senang di hari raya dengan cara yang tidak melanggar syariat.Wallahu a’lam. Penulis: Abu Utsman Surya Huda Aprila https://www.youtube.com/watch?v=rLEe6pblruI&t=52s
ZAKAT FITRAH: PENGERTIAN, HUKUM, DAN WAKTU KEWAJIBAN
JAKARTA – Zakat fitrah adalah sedekah yang diwajibkan pada saat idul fitri di bulan Ramadan. Nama zakat ini dihubungkan dengan fitrah karena ia menjadi sebab kewajibannya. Zakat ini diwajibkan sebagai bentuk pembersihan bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadan dan sebagai pemberian kepada orang miskin. Hikmah Disyariatkannya Zakat Fitrah Berkata Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perkataan kotor, serta sebagai makanan bagi orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat Idul Fitri, maka itu adalah zakat yang diterima, sedangkan jika ditunaikan setelah salat, maka itu hanya dianggap sebagai sedekah biasa. (HR. Abu Dawud No 1371) Dalam hadis tersebut, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa zakat fitrah berfungsi untuk membersihkan orang yang berpuasa dari perbuatan buruk selama Ramadan, termasuk perkataan yang tidak pantas dan amalan yang dapat merusak pahala puasa. Sebagian ulama mengaitkan zakat fitrah dengan ayat dalam Surah Al-A’la yang berbunyi: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan diri dan menyebut nama Rabb-nya serta salat.” (QS. Al-A’la: 14-15). Berkata Umar bin Abd al-Aziz dan Abu Al-‘Aliyah (tentang ayat ini) Menunaikan zakat fitrah kemudian bangkit untuk sholat (Sholat ‘ied) [1] Waki’ bin al-Jarrah juga menyamakan zakat fitrah dengan sujud sahwi dalam salat, yakni keduanya berfungsi untuk menyempurnakan dan menutupi kekurangan, baik dalam ibadah puasa maupun dalam salat.ِ [2] Hukum Zakat Fitrah Hukum zakat fitrah adalah wajib, berdasarkan sebuah hadis dari ibnu umar radhiyallahu ‘anhuma: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan Zakat fitrah.” Juga berdasarkan ijma’ para ulama bahwa zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin, selama ia mampu. [3] Waktu Kewajiban Zakat Fitrah Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada waktu terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadan. Dengan demikian, kewajiban zakat fitrah berlaku mulai dari terbenamnya matahari pada hari terakhir Ramadan. Orang yang baru menikah, atau memiliki anak, atau memeluk agama Islam sebelum terbenam matahari pada hari terakhir Ramadan, wajib menunaikan zakat fitrah. Namun, apabila terjadi setelah terbenam matahari, maka tidak diwajibkan menunaikan zakat. Demikian juga, jika seseorang meninggal setelah terbenam matahari pada malam Idul Fitri, maka ia tetap diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. [4] Kesimpulan Zakat fitrah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim sebagai bentuk penyucian diri dan pemberian kepada orang miskin. Kewajiban ini berlaku pada akhir bulan Ramadan dan harus ditunaikan sebelum salat Idul Fitri. Zakat fitrah berfungsi untuk menyempurnakan puasa dan salat, serta memberi manfaat bagi mereka yang membutuhkan. Artikel ini merupakan bagian pertama dalam serial zakat fitrah. Semoga Bermanfaat Penulis: Abu Utsman Surya Huda Aprila [1] Ahkamul Quran Lil Jashosh : Jilid 3 Hal 636[2] Al-Majmu’ : Jilid 6 Hal 140[3] Lihat : Al-Mughni, Bab Zakat al-Fitr[4] Lihat : Al-Mughni, Jilid 4 Hal 298 – 299 https://www.youtube.com/watch?v=rahITGmkHIY