JAKARTA – Di tempat kerja, terkadang seorang bawahan memberi hadiah kepada atasan dengan dalih bentuk penghormatan atau rasa terima kasih. Namun dalam pandangan Islam, pemberian ini perlu ditinjau ulang karena bisa menjadi sarana suap tersembunyi yang menodai keadilan dan amanah. Bagaimana syariat Islam menyikapi hadiah semacam ini? Apakah diperbolehkan atau justru termasuk bagian dari risywah (suap) yang dilarang keras? Berikut Penjelasan Soal Hukum Memberikan Hadiah kepada Atasan: Pertanyaan: Apa hukumnya seorang pegawai memberikan sesuatu yang berharga kepada atasannya dalam bekerja, dan ia mengklaim bahwa pemberian itu hanyalah sebagai bentuk hadiah? Jawaban: Ini merupakan kesalahan dan sarana yang bisa menimbulkan banyaknya petaka. Sudah seharusnya bagi atasan/kepala tidak menerima pemberian itu, karena ia bisa menjadi risywah (suap) dan sarana menuju kebiasaan menjilat dan berkhianat, kecuali jika dia menerimanya untuk keperluan rumah sakit, bukan untuk dirinya pribadi. Dia harus memberitahu kepada si pemberi mengenai hal itu dengan mengatakan, “Pemberian ini untuk keperluan rumah sakit, aku menerimanya bukan untuk kepentingan pribadi.” Sikap yang lebih hati-hati daripada sikap di atas, ialah dengan mengembalikan hadiah tersebut kepada si pemberi. Memulangkannya dan tidak menerimanya baik untuk dirinya maupun untuk keperluan rumah sakit, sebab, hal tersebut sangat dikhawatirkan bisa menyeretnya untuk mengambil bagian dari hadiah tersebut buat keperluan pribadi. Hal ini tentu akan memicu timbulnya salah sangka terhadapnya, dan bisa jadi pula bisa si pemberi hadiah berani lancang terhadap atasan dan menginginkan dirinya untuk diperlakukan lebih baik daripada karyawan yang lain. Dahulu pernah, ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus sebagian pegawai untuk mengumpulkan harta zakat, pegawai tersebut berkata kepada beliau, “Ini bagian Anda, dan ini bagianku yang telah dihadiahkan untukku.” Beliau pun mengingkari hal itu seraya berbicara di tengah manusia: مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ: هَذَا لَكُم وَهَذَا أُهْدِيَ لِي، أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيتِ أَبِيهِ أَو فِي بَيْتَ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيهِ أَم لَا. “Ada apa gerangan dengan seorang pegawai yang aku utus, lantas ia berkata, ‘Ini untukmu dan ini untukku, sesuatu yang memang telah dihadiahkan untukku.’ Tidaklah dia duduk di rumah ayahnya atau ibunya, sampai terlihat pada dirinya, apakah dia layak untuk mendapatkan hadiah tersebut ataukah tidak?!” [1] Hadis ini menunjukkan, bahwa wajib bagi setiap pegawai pada bidang apa pun itu dalam instansi-instansi pemerintahan untuk menunaikan tugas yang telah dibebankan kepadanya. Tidak ada hak baginya untuk menerima hadiah yang terkait dengan pekerjaannya. Apabila dia menerimanya, hendaklah dia memberikan hadiah tersebut ke Baitul Mal, dan dilarang baginya untuk mengambil bagian dari hadiah tersebut untuk kepentingan pribadi. Hal ini berdasarkan hadis sahih di atas. Selain itu, (mengambil hadiah tersebut -pen.) merupakan sarana yang bisa membawanya pada keburukan dan mengabaikan amanah. Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah. Sumber:Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, al-Fataawaa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa-il al-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa al-Balad al-Haraam, Bab: al-Mu’aamalaat, no. 8, hal. 662-663 (Cet. Pertama, th. 1999M/1420H), disampaikan oleh asy-Syekh Bin Baz rahimahullah dalam Fataawaa ‘Aajilah Limansuubi ash-Shihhah, hal. 44-45. Alih Bahasa: Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H [1] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Iimaan, no. 6626 dan Muslim dalam Shahiih-nya, kitab al-Imaarah, no. 1832. https://www.youtube.com/watch?v=qT92GydwIdc
BOLEHKAH MENGIKUTI PERLOMBAAN PENGETAHUAN UMUM DAN YANG SEMISALNYA?
JAKARTA – Pada era modern, berbagai perlombaan pengetahuan umum dan keislaman semakin marak digelar, termasuk dengan hadiah menarik. Namun, bagaimana pandangan syariat mengenai mengikuti perlombaan semacam ini? Apakah diperbolehkan seorang Muslim ikut serta dalam lomba seperti itu dan menerima hadiahnya, atau justru terdapat larangan khusus di dalamnya? Inilah penjelasan ulama terkait hukumnya. Tanya-Jawab Soal Bolehkan Mengikuti Perlombaan Pengetahuan Umum dan Semisalnya: Pertanyaan: Apa hukumnya mengikuti perlombaan-perlombaan ilmiah atau pengetahuan umum, yang mana dalam perlombaan tersebut disediakan hadiah sebesar 10.000 Riyal? Jawaban: Hukumnya boleh, apabila dalam perlombaan tersebut berisi tentang pemecahan terhadap masalah-masalah ilmiah, semisal berkaitan dengan tauhid (akidah), fikih, tafsir, serta tidak terdapat di dalamnya promosi untuk majalah-majalah atau menyia-nyiakan waktu. Tidak apa-apa menerima hadiah tersebut dalam kondisi seperti ini. Wallahu a’lam. Sumber:Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, al-Fataawaa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa-il al-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa al-Balad al-Haraam, Bab: al-Mu’aamalaat, no. 8, hal. 635 (Cet. Pertama, th. 1999M/1420H), lihat pula: al-Lu’lu al-Makiin, hal. 213-214.Alih Bahasa: Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H https://www.youtube.com/watch?v=lwalbN-OTQ8
HUKUM SUAP-MENYUAP
JAKARTA – Suap-menyuap adalah praktik yang kerap terjadi di berbagai lini kehidupan. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap praktik ini? Apakah hanya dianggap dosa kecil atau ada konsekuensi besar dalam syariat? Berikut Tanya Jawab Soal Hukum Suap-Menyuap Pertanyaan: Apa hukum suap-menyuap secara syariat? Jawaban: Suap-menyuap hukumnya adalah haram berdasarkan nash (dalil syariat) dan ijmak (kesepakatan para ulama). Suap-menyuap adalah perbuatan memberikan sesuatu kepada seorang hakim dan selainnya dengan tujuan agar dia melenceng dari kebenaran, dan agar memberikan keputusan sesuai dengan apa yang penyuap inginkan. Mengenai hal ini, dalam sebuah hadis sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي. “Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap.”[1] Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga melaknat orang yang menyuap,[2] yaitu dia (orang) yang menjadi perantara antara keduanya. Tidak diragukan lagi, bahwa dia berdosa dan berhak mendapatkan cacia, celaan dan hukuman karena membantu dalam melakukan perbuatan dosa serta melampaui batas, padahal Allah ta’ala berfirman, وَتَعَاوَنُوا عَلى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلى الإِثْمِ وَالعُدْوانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ العِقَابِ “Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan, janganlah kalian saling tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya siksaan Allah sangat pedih.”[3] Sumber:Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, al-Fataawaa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa-il al-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa al-Balad al-Haraam, Bab: al-Mu’aamalaat, no. 3, hal. 631 (Cet. Pertama, th. 1999M/1420H), disampaikan oleh Syekh Bin Baz rahimahullah, dalam Kitaab ad-Da’wah, hal. 1/156. Alih Bahasa:Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H [1] HR. Abu Dawud dalam kitab al-Aqdhiyyah, no. 3580, at-Tirmidzi dalam kitab al-Ahkaam, no. 1337, dan Ibnu Majah dalam kitab al-Ahkaam, no. 2313.[2] HR. Ahmad, no. 21893, al-Bazzar, no. 1353, ath-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabiir, no. 1415. Al-Haitsami berkata dalam Majma’ az-Zawaa-id, 4/199, “Dalam riwayat tersebut terdapat Abu al-Haththab, seorang yang tidak diketahui identitasnya.”[3] QS. Al-Ma’idah: 2. https://www.youtube.com/watch?v=CciAP8TuBQY
NGERINYA BUDAYA SUAP-MENYUAP
JAKARTA – Dalam Islam, praktik suap-menyuap bukan hanya mencoreng keadilan sosial, tetapi juga bisa membahayakan akidah seorang Muslim. Ketika perbuatan ini dijadikan kebiasaan, dampaknya sangat besar terhadap hati, iman, dan hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Berikut penjelasan ulama seputar bahayanya budaya suap-menyuap terhadap akidah: Pertanyaan: Apa pengaruh buruk dari budaya (kebiasaan) suap-menyuap terhadap akidah seorang Muslim? Jawaban: Perbuatan suap-menyuap termasuk dosa besar yang dapat mengundang murka Allah ‘azza wa jalla dan melemahkan akidah serta keimanan seorang Muslim. Ketika seorang hamba terbiasa melakukan maksiat semacam ini, setan akan lebih mudah menjerumuskannya ke dalam jurang kemaksiatan yang lebih dalam. Oleh sebab itu, wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhi praktik suap-menyuap dan segala bentuk perbuatan dosa lainnya. Apabila seseorang pernah terjatuh dalam perbuatan ini, maka hendaknya segera bertaubat dengan taubat yang tulus. Ia juga wajib mengembalikan uang yang diterima kepada pemiliknya jika memungkinkan. Namun, bila pengembalian langsung tidak memungkinkan, maka uang tersebut harus disedekahkan kepada kaum fakir miskin atas nama pemiliknya, disertai dengan istighfar dan penyesalan yang mendalam. Semoga Allah menerima taubatnya dan menghapus dosa-dosanya. Dijawab oleh:Syaikh Bin Baz rahimahullah Sumber:Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, al-Fataawaa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa-il al-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa al-Balad al-Haraam, Bab: al-Mu’aamalaat, no. 4, hal. 632 (Cet. Pertama, 1999M/1420H).Disampaikan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah, dalam Kitaab ad-Da’wah, hal. 1/157. Alih Bahasa:Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H https://www.youtube.com/watch?v=suaetZwgijY