JAKARTA – Banyak muslimah yang bertanya-tanya soal ini apa hukum mengonsumsi pil pencegah haid, apalagi kalau lagi bersiap untuk umrah atau haji. Momen ibadah besar tentu sayang kalau terganggu haid. Akhirnya, muncul keinginan untuk minum pil penunda haid agar bisa tetap ikut seluruh rangkaian ibadah. Tapi bagaimana hukumnya? Nah, sebenarnya ini bukan perkara baru. Para ulama sejak dulu sudah membahas soal ini dan memberikan panduan berdasarkan kondisi dan tujuan jemaah perempuan. Intinya, jangan asal minum pil pencegah haid saat haji atau umrah, harus tahu batas dan ketentuannya. Kalau kamu pernah galau soal ini, yuk simak penjelasan lengkapnya dari fatwa-fatwa ulama yang terpercaya berikut ini: Hukum mengonsumsi pil pencegah haid Jika seorang wanita mengonsumsi pil pencegah haid karena ada sebuah udzur seperti ingin melaksanakan umrah atau haji, maka tidak mengapa. Dia konsumsi setelah jelas baginya darah haid sudah berhenti, maka dia kerjakan Thowaf. Beberapa fatwa ulama yang menjelaskan demikian; Dari Ibnu Juraij beliau berkata: ‘Ato’ bin Abi Rabah ditanya tentang seorang perempuan yang mengkonsumsi pil pencegah haid ketika ingin melaksanakan Thowaf, apakah boleh? Ato’ menjawab: “Jika darahnya dipastikan berhenti maka boleh, jika tidak berhenti maka tidak boleh”.[1] Berkata Ibnu Qudamah: Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau berkata: “Tidak mengapa bagi seorang perempuan untuk mengkonsumsi obat pencegah haid jika obatnya terkenal manjur”[2] Disadur dalam kitab Jami li ahkam An-Nisa 1/166 Alih Bahasa Gilang Malcom Habiebie [1] Kitab Al-Mushonnaf karya Abdurrazaq bin Hammam no: 1219[2] Kitab Al-Mughni 1/368 https://www.youtube.com/watch?v=nyfYhHi1f08
HUKUM MENGUSAP KERUDUNG SAAT WUDHU, BOLEHKAH?
JAKARTA – Di tengah rutinitas dan mobilitas perempuan muslimah, sering muncul satu pertanyaan: “Apakah boleh mengusap kerudung saja saat wudhu, tanpa membukanya?” Ini sering terjadi apalagi dalam kondisi darurat seperti sedang di tempat umum, sulit mencari tempat tertutup, atau cuaca sangat dingin. Menariknya, hal ini ternyata sudah lama menjadi perbincangan para ulama. Sebagian membolehkan, sebagian lainnya tidak. Yuk kita bahas pendapat mereka satu per satu, biar makin yakin dan tenang saat menjalankan ibadah. Berikut Penjelasan Soal Hukum Mengusap Kerudung Saat Wudhu: Mengusap kerudung atau sebagiannya termasuk salah satu permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Perselisihan tersebut berangkat pada satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1] dari Bilal beliau mengatakan: “Bahwasannya Rasulullah mengusap khuf dan imamahnya”. Hadis tersebut menjadi bahan perbincangan oleh para ulama, dari sisi sanad dan matan, namun berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Didalam permasalahan hukum wanita mengusap kerudungnya ada 2 pendapat diantara para ulama: 1. Tidak boleh dikarenakan nash-nash yang membolehkan hanya terjadi pada laki-laki tidak dengan perempuan, adapun hadis tentang kebolehan seorang wanita maka ia masykuk (diragukan keabsahannya) 2. Boleh karena keumuman sabda Nabi Muhammad shlallahu ‘alaihi wasallam “امسحوا على الخفين والخمار” “Usaplah khuf dan imamah (kerudung) kalian”[2] Hadis ini shohih dan termasuk dari perbuatan beliau dan bukan hanya perkataan, bagi perempuan masuk dalam khitob/orang yang diajak bicara karena mengikuti hukum seorang lelaki sebagaiamana bolehnya seorang perempuan mengusap khufnya”[3]. Berkata Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin: “Jika disana terdapat kesulitan seperti dingin atau kesulitan melepas hijab atau apapun itu, maka bertoleransi dalam masalah ini tidak mengapa”[4]Berkata Syaikh Mushtofa Al-Adawi: “Kesimpulannya adalah bolehnya seorang perempuan untuk mengusap kerudungnya -jika ingin keluar dari khilaf- ditambah dengan mengusap ubun-ubun juga”.[5] Alih Bahasa: Gilang Malcom HabiebieDisadur dengan sedikit perubahan dalam web islamqa.info [1] HR Muslim no: 275[2] HR Ahmad 29/325[3] Syarhul Umdah 1/266[4] Syarhul Mumti’ 1/239[5] Jami’ li ahkami An-Nisa 1/30 https://www.youtube.com/watch?v=A-3qx_kDlJo
MERAIH CINTA ALLAH
JAKARTA – Setiap orang, pasti akan merasa bahagia jika dicintai, termasuk meraih cinta Allah. Dia akan merasa menjadi manusia paling istimewa di muka bumi ini, dia akan merasa sebagai sosok penting yang akan terus-menerus disayangi. Namun pernahkah kita merenung sejenak, selama ini, cinta siapakah yang kita kejar? Ingin dicintai oleh siapakh kita? Maka kita akan menemukan tersadarkan, bahwa ternyata selama ini kita hanya mengejar cinta makhluk dan berharap mereka memberikan cintanya pada kita. Meninggalkan sang Pencipta, sibuk dengan dunia. Sebagai seorang Muslim sejati, cinta pertama yang harus ia perjuangkan, yang harus bisa ia dapatkan, adalah cinta Allah subhanahu wa ta’ala. Timbul pertanyaan, “Bagaimanakah caranya?” Di antaranya ialah dengan menjadi muslim yang kuat. Seorang muslim yang kuat jauh lebih dicintai oleh Allah daripada muslim yang lemah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda, الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ خَيرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيرٌ. “Seorang mukmin yang kuat itu jauh lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun di setiap dari mereka memiliki kebaikan masing-masing.”[1] Tentunya yang dimaksud kuat di sini ialah, kuat dalam ketaatan dan ibadah, semisal menjaga perintah-perintah yang wajib maupun sunnah.Mungkin ada yang bertanya, “Apa manfaat dari orang yang dicintai oleh Allah?” Jawabannya banyak, di antaranya ialah dia akan selalu diarahkan pada kebaikan oleh Allah ta’ala. Ketika seorang hamba dicintai oleh Allah, maka Dia akan senantiasa membimbingnya dalam kebaikan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis Qudsi, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda, وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا. وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ سْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ … “Ketika Hamba-Ku senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan yang sunnah, maka dia pasti akan Aku cintai. Apabila Aku telah mencintai seorang hamba, maka Aku akan membimbing telinganya untuk mendengar hal-hal yang baik, Aku akan membimbing matanya untuk melihat sesuatu yang baik, Aku akan membimbing tangannya untuk melakukan perbuatan yang baik, dan Aku akan membimbing kakinya untuk melangkah ke tempat-tempat yang baik. Apabila dia meminta sesuatu kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya…”[2] Selain itu, Allah subhanahu wa ta’ala juga akan mengumumkan kepada para penduduk langit, bahwa Dia mencintai orang tersebut sekaligus memerintahkan kepada mereka untuk mencintainya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda, إِذَا أَحَبَّ اللهُ العَبْدَ، نَادَى جِبْرِيلَ، إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلَانًا، فَأَحْبِبْهُ! فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلَانًا، فَأَحِبُّوهُ! فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ القَبُولُ فِي الأَرْضِ. “Apabila Allah telah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memanggil Jibril, lalu berkata, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka engkau cintailah dia!’ Jibril pun mencintainya, kemudian ia menyeru kepada para penduduk langit seraya berkata, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka kalian cintailah dia!’ Para penduduk langit pun mencintai orang tersebut. Maka, ia pun menjadi manusia yang diterima di bumi.”[3] Para penduduk bumi maupun langit akan menerimanya, akan rida dengannya. Mereka akan merasa senang dengan kehadirannya, dan merasa sedih akan kepergiannya. Itulah wali Allah, yang senantiasa menjaga ketaatan dan ketaatan kepada Allah, serta menjaga diri dari hal-hal yang haram. Tidak ada rasa takut dan sedih pada dirinya. Surga dijanjikan untuknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوفٌ عَلَيهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ ﴾ “Ketahuilah, para wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada jiwa mereka tidak pula merasa bersedih hati, yaitu mereka orang-orang yang beriman dan bertakwa (kepada Allah).” (QS. Yunus: 62-63).Ciri seorang hamba yang benar-benar mencintai Allah ‘azza wa jalla[4] Sebagaimana pada umumnya, ketika seseorang mencintai sesuatu, maka dia akan berusaha untuk membuktikannya, dia akan rela melakukan apapun demi mendapatkan cinta dari sesuatu yang ia cintai. Tak peduli dengan celaan, yang terpenting dia merasa nyaman. Tak peduli dengan cacian, apapun akan dia usahakan. Demikianlah seharusnya yang kita lakukan ketika mencintai Allah dan agar dapat cinta Allah. Ada bukti nyata yang kita usahakan untuk meraih cinta-Nya. Berikut sepuluh hal yang menunjukkan bukti cinta seorang hamba kepada Rabb-nya tabaraka wa ta’ala, agar dapat cinta Allah: 1. Mencintai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam Seorang hamba yang mencintai Allah, maka dia akan mencintai Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, bahwa Allah ta’ala berfirman, ﴿ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾ “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Apabila kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian, dan Dia akan mengampuni dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Ali Imran: 31). Mengenai ayat ini, al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Suatu kaum mengklaim diri mereka telah mencintai Allah, maka Allah menguji kecintaan mereka dengan ayat ini.” Sedangkan al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, bahwa ayat ini sebagai penentu atas siapakah yang benar-benar mencintai Allah. Barangsiapa yang tidak berada di atas petunjuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, maka sungguh dia telah dusta dalam cintanya sampai dia benar-benar mengikuti syariat yang dibawa oleh Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. 2. Mencintai hamba Allah dari kalangan orang-orang istimewa yang mencintai-Nya dengan benar Bukti kedua, ialah dengan mencintai para kekasih Allah, yang mana mereka mencintai Allah dan Allah mencintai mereka, yaitu semisal mencintai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, para sahabat beliau dan orang-orang saleh. Mencintai mereka bukan dalam rangka ibadah, namun mencintai mereka dikarenakan kecintaan mereka kepada Allah. 3. Rida dengan apa yang telah Allah tetapkan Demikianlah yang sudah seharusnya dilakukan oleh seorang hamba, dia rida dengan segala ketetapan Allah. Dia menerima segala hal yang ditakdirkan untuknya. Hal ini akan menjadi mudah jika kita sering berdoa sebagaimana permintaan yang dipanjatkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada-Nya, وَأَسْأَلُكَ الرِّضَاءَ بَعْدَ القَضَاءِ. “Aku meminta keridaan kepada-Mu ya Allah sebelum ketetapan-Mu terjadi.”[5] 4. Mencintai Al-Qur’an dan senantiasa menyibukkan diri dengannya Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, bahwa mencintai Al-Qur’an merupakan bukti nyata kecintaan seorang hamba kepada Allah. Apabila kita ingin mengetahui kadar cinta kepada Allah yang ada pada hati kita dan selain kita, maka lihatlah, apakah lebih senang untuk mendengarkan Al-Qur’an ataukah lebih condong kepada tempat-tempat hiburan yang dan perkataan yang melalaikan seperti halnya nyanyian yang teriring musik.
HUKUM MEMBACA MUSHAF DAN BERGERAK RINGAT SAAT SHALAT
JAKARTA – Banyak dari kita mungkin bertanya-tanya, apakah boleh membaca Al-Qur’an dari mushaf saat shalat? Dan bagaimana jika saat itu kita harus membuka halaman atau memindah posisi mushaf? Tulisan ini mengupas tuntas hukum membaca dari mushaf dalam shalat serta hukum gerakan ringan selama shalat menurut para ulama. Dengan merujuk pada dalil-dalil shahih dan pendapat mayoritas ulama, kita akan melihat bahwa Islam memberi keringanan dalam perkara-perkara yang mendukung kekhusyukan dan kelancaran ibadah, termasuk dalam membaca mushaf dan gerakan kecil dalam shalat yang tidak berlebihan. Berikut Penjelasan Hukum Membaca dari Mushaf dan Bergerak Ringan Saat Shalat Segala puji bagi Allah. Pertama: Hukum Membaca dari Mushaf dalam Shalat Tidak mengapa membaca Al-Qur’an dari mushaf saat shalat, baik dalam shalat fardhu (wajib) maupun sunnah. Dalam Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (33/57) disebutkan: “Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa membaca dari mushaf dalam shalat itu diperbolehkan. Imam Ahmad berkata: ‘Tidak mengapa seseorang menjadi imam untuk orang-orang dengan membaca dari mushaf.’ Beliau ditanya: ‘Apakah hal ini juga berlaku untuk shalat fardhu?’ Beliau menjawab: ‘Aku tidak mendengar sesuatu yang melarangnya.’ Dan Imam Az-Zuhri ditanya tentang seseorang yang membaca dari mushaf di bulan Ramadan, beliau berkata: ‘Orang-orang pilihan kami dahulu juga membaca dari mushaf.’” Kedua: Hukum Gerakan Ringan dalam Shalat Adapun gerakan yang dilakukan saat membaca dari mushaf, seperti membuka halaman atau memegang mushaf, maka itu diperbolehkan. Gerakan tersebut termasuk gerakan ringan, dilakukan demi kemaslahatan shalat, serta tidak dilakukan secara terus-menerus, sehingga tidak membatalkan shalat. Telah shahih dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah bergerak dalam shalat karena kebutuhan. Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Nabi ﷺ sedang shalat di dalam rumah dan pintu dalam keadaan tertutup. Lalu aku datang, maka beliau berjalan (membuka pintu) hingga membukakannya untukku, kemudian kembali ke tempat beliau shalat.”(HR. Abu Dawud no. 922, At-Tirmidzi no. 601, dan dihasankan oleh Al-Albani) Begitu juga hadits dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi ﷺ keluar kepada kami sambil menggendong Umamah binti Abu Al-‘Ash di atas pundaknya. Beliau shalat, ketika beliau rukuk, beliau meletakkannya, dan ketika bangkit dari rukuk, beliau menggendongnya kembali.”(HR. Bukhari no. 5996 dan Muslim no. 543) Dalam Asna al-Mathalib karya Syaikh Zakariyya Al-Anshari (1/183) dijelaskan: “Jika seseorang membuka kitab dan memahami isinya, atau membaca dari mushaf, lalu membalik halamannya sesekali: maka shalatnya tidak batal, karena itu termasuk gerakan ringan atau tidak berurutan, sehingga tidak dianggap berpaling dari shalat. Gerakan kecil yang jika dilakukan secara berlebihan bisa membatalkan shalat, maka jika dilakukan dengan sengaja tanpa kebutuhan, hukumnya makruh.” Syaikh Ibn Baz rahimahullah berkata: “Di antara dalil bahwa perbuatan ringan atau gerakan ringan dalam shalat tidak membatalkannya, begitu pula perbuatan yang terpisah-pisah dan tidak terus-menerus adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah membuka pintu untuk Aisyah saat sedang shalat, dan juga hadits dari Abu Qatadah yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ shalat sambil menggendong Umamah, ketika beliau rukuk beliau meletakkannya, dan ketika bangkit beliau menggendongnya kembali.”(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibn Baz, 11/113) Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah juga berkata: “Gerakan yang diperbolehkan dalam shalat adalah gerakan ringan karena ada kebutuhan, atau gerakan banyak karena darurat. Gerakan ringan karena kebutuhan, seperti yang dilakukan oleh Nabi ﷺ ketika menggendong Umamah binti Zainab, cucunya dari anak perempuan beliau, ketika shalat. Ketika berdiri beliau menggendongnya, dan ketika sujud beliau meletakkannya.”(Fatawa Islamiyyah, 1/287) Kesimpulan Membaca dari mushaf saat shalat, baik wajib maupun sunnah, hukumnya boleh menurut mayoritas ulama. Gerakan ringan seperti membuka mushaf, membalik halaman, atau sedikit berpindah karena kebutuhan tidak membatalkan shalat. Nabi ﷺ sendiri pernah melakukan gerakan dalam shalat karena kebutuhan, sebagaimana terdapat dalam banyak hadits yang shahih. Wallahu a‘lam.Penulis: Abu Utsman Surya Huda Aprila https://www.youtube.com/watch?v=SLoWQiK_96E