Pertanyaan:
Bolehkah mengatakan, “Aduhai betapa buruknya takdir ini”?
Jawab:
Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi, amma ba’d;
Sesungguhnya, ungkapan yang seperti ini tidak pantas untuk diucapkan, dikarenakan dua hal:
- Mengandung kemurkaan dengan takdir Allah, padahal seorang Muslim dituntut untuk menerima seluruh takdir Allah, entah itu yang baik mauapun yang kurang baik (menurut kita -pen).
Dalam sebuah hadis disebutkan; dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,
عظم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله إذا أحب قوماً ابتلاهم، فمن رضي فله الرضا، ومن سخط فله السخط.
“Besarnya balasan berbanding lurus dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang rida (dengan ujian tersebut), maka dia akan mendapatkan rida (Allah). Namun sebaliknya, barangsiapa yang murka (dengan ujian tersebut), maka dia akan mendapatkan kemurkaan (dari Allah).”[1]
- Mengandung ejekan terhadap takdir yang Allah tetapkan, maka jelas, ini tidak diperbolehkan.
Syekh Bakr bin Abu Zaid rahimahullah pernah mengatakan dalam kitab “Mu’jam al-Manaahiy al-Lafzhiyyah”
ولا يقال: شاءت حكمة الله، ولا يقال: شاءت قدرة الله، ولا شاء القدر، ولا شاءت عناية الله، وهكذا من كل ما فيه نسبة الفعل إلى الصفة، وإنما يقال: شاء الله، واقتضت حكمة الله، وعنايته سبحانه.
“Janganlah seseorang mengatakan, ‘Hikmah Allah telah berkehendak, qudrah Allah telah berkehendak, ‘inayah Allah telah berkehendak, dan begitu seterusnya, tidak boleh bagi seorang hamba menisbatkan perbuatan kepada sifat Allah, yang sudah seharusnya dikatakan ialah, ‘Allah telah berkehendak, Allah telah menetapkan suatu hikmah dan ‘inaayah (pada takdir-Nya), dan seterusnya.”
Kita tidak boleh mengucapkan kata-kata tersebut, karena yang menetapkan segala sesuatu itu Allah, bukan sifat hikmah-Nya, yang menakdirkan itu hanyalah Allah, bukan sifat masyiah-Nya, dan begitu seterusnya. Hikmah dan masyiah merupakan sifat-sifat Allah yang maknawi, sementara perbuatan harus dinisbatkan kepada pelakunya, bukan kepada sifat.
Faedah:
Kita tidak boleh mengatakan, bahwa Allah ta’ala telah melakukan penghinaan (atas penetapan takdir yang menurut kita buruk), meskipun Dia pernah menetapkan sesuatu yang buruk (namun itu semua pasti ada hikmahnya) sebagaimana yang disebutkan dalam surah at-Taubah,
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela, dan (mencela) orang-orang yang tidak memiliki harta (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupan mereka, sehingga orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.”[2]
Syekh Ahmad al-Hakami pernah menyampaikan,
واعلم أنه قد ورد في القرآن أفعال أطلقها الله عز وجل على نفسه على سبيل الجزاء والعدل والمقابلة، وهي فيما سيقت فيه مدح وكمال، ولكن لا يجوز أن يشتق له تعالى منها أسماء ولا تطلق عليه في غير ما سيقت فيه من الآيات، كقول الله تعالى: إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
“Ketahuilah, bahwa dalam Al-Qur’an seringkali ditemukan sifat-sifat yang dinisbatkan oleh Allah kepada diri-Nya sebagai bentuk balasan dan keadilan. Ketika sifat tersebut dinisbatkan kepada Allah dalam bentuk tertentu (semisal; balasan, makar dsb. -pen), maka ia mengandung nilai pujian dan kesempurnaan (bagi Allah), namun kita tidak boleh menjadikan sifat-sifat tersebut sebagai nama Allah, dan tidak boleh memakaikannya untuk hal-hal lain selain yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana firman Allah subhânahu wa ta`âlâ berikut; (yang artinya): ‘Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.’[3]” Wallahu a’lam bish showwab.
Sumber:
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/26137/قول-يا-لسخرية-القدر-حرام
Alih Bahasa:
al-Faqiir Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H
[1] HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan beliau menilai hadis ini hasan ghariib, sedangkan Syekh al-Albani menilainya sebagai hadis hasan.
[2] QS. At-Taubah: 79.
[3] QS. An-Nisa’: 142.