AKU AKAN MEMBUAT TAKDIRKU SENDIRI!

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya mengatakan, “Aku akan membuat takdirku sendiri”?

Jawaban:

Alhamdulillah (segala puji hanya milik Allah). Beriman kepada takdir, merupakan salah satu bentuk beriman dengan rukun-rukun iman. Hal ini sabagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika menjawab pertanyaan dari Jibril ‘alaihis salam tentang iman, beliau bersabda,

أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره.

         “(Iman adalah) engkau beriman (percaya) kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, dan mempercayai takdir yang baik maupun yang (terlihat) buruk.”

         Adapun takdir dalam pembahasan kali ini, ialah mengenai ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap sesuatu sejak zaman azali, serta dengan ilmu, sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh-Nya dan catatan takdir-Nya, Allah mengetahui hal-hal tersebut akan terjadi pada waktu-waktu yang telah diketahui oleh-Nya, yang dikehendaki oleh-Nya, yang telah ditentukan kadar dan ciptaannya.”[1]

         Iman terhadap takdir meliputi empat hal, yaitu:

  1. Ilmu. Maksudnya ialah meyakini bahwa Allah telah mengetahui apa yang dikerjakan oleh makhluk-Nya dengan ilmu-Nya yang azali.
  2. Catatan. Maksudnya ialah meyakini bahwa Allah telah menulis seluruh takdir makhluk-makhluk-Nya di Lauhul Mahfuuzh.
  3. Kehendak. Maksudnya ialah meyakini bahwa apa yang telah dikehendaki oleh Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki oleh-Nya pasti tidak akan terjadi. Oleh karena itu, segala hal yang ada di langit maupun bumi, yang bergerak maupun yang diam, itu semua atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.
  4. Penciptaan dan pembentukan. Maksudnya ialah meyakini bahwa Allah Yang Maha Menciptakan segala sesuatu, termasuk di dalamnya ialah segala perbuatan para hamba-Nya. Mereka melakukannya, dan Allah-lah yang telah menciptakan mereka beserta perbuatan mereka.

Barangsiapa yang beriman dengan keempat perincian di atas, maka dia telah beriman kepada takdir Allah dengan baik. Allah ta’ala telah menentukan perincian tersebut pada banyak ayat, di antaranya ialah firman Allah yang berbunyi,

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

         “Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya (ukurannya).”[2]

         Allah ta’ala juga berfirman,

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahuinya selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui oleh-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)”[3]

         Allah juga berfirman,

 مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah”[4]

         Allah ta’ala juga berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Kamu tidak dapat berkehendak, kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”[5]

         Dalam sebuah hadis juga disebutkan, dari ‘Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhu, bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

كتب الله مقادير الخلائق قبل أن يخلق السماوات والأرض بخمسين ألف سنة. قال : وعرشه على الماء

“Allah telah menulis takdir-takdir semua makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi sejak 50.000 tahun. Belia kemudian bersabda, ‘Dan Arsy-Nya di atas air.”[6]

         Tentunya, takdir yang semacam ini tidak ada seorang pun yang mampu keluar darinya, apalagi membuat takdirnya sendiri. Semua hal yang terjadi telah ditakdirkan sesuai dengan rincian di atas, hanya saja, seorang hamba diberikan kehendak dan pilihan (oleh Allah), oleh karena itu, ia bisa mendapatkan pahala, bisa pula mendapatkan siksaan. Namun, kehendaknya mengikuti kehendak Allah ta’ala, sehingga, segala hal yang tidak dikehendaki oleh Allah, pasti tidak akan pernah terjadi. Hal ini sebagaimana firman-Nya,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Kamu tidak dapat berkehendak, kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”[7]

         Dia (Allah) telah menetapkan kehendak bagi seorang hamba, namun menjadikannya tunduk (mengikuti) terhadap kehendak Allah ta’ala.

Oleh karena itu, barang siapa yang mengatakan, “Saya akan membuat takdir saya sendiri,” dan tidak ingin tunduk kepada takdir Allah, atau memungkinkannya untuk merubah apa yang telah ditakdirkan, atau keluar dari ketetapan-Nya, atau dia ingin tidak beriman kepada takdir Allah, maka tidak diragukan lagi, bahwa hal ini adalah sebuah kesalahan dan kesesatan yang nyata, karena dia telah mendustakan salah satu rukun iman yang agung ini. Adapun jika yang dimaksud adalah bahwa dia memiliki kehendak serta pilihan, dia melakukan apa yang diinginkan, merasa tidak ada paksaan untuk melakukan kegiatan apapun, atau tidak bertawakkal pada suatu apapun, bertumpu pada perkara yang sudah tertulis di mana baginya belum diketahui, bahkan dia berbuat, bersungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya, maka inilah yang benar. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala berikut,

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.”[8]

         Allah ta’ala juga berfirman,

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

         “(Bukankah) Kami juga telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)?”[9]

Maksudnya ialah, “Bahwa Kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan keburukan.” Namun si penanya (dalam masalah ini) melakukan kesalahan dalam menyampaikannya. Dia bertanya tentang sesuatu yang dapat menyebabkan dia tertuduh tidak beriman kepada takdir. Sebaiknya berhati-hati dalam masalah ini, begitu pula dalam menyampaikan kebenaran dengan redaksi yang aman lagi jelas berkenaan dengan iman kepada takdir. Wallahu a’lam bish showwab.

 

Sumber:
https://islamqa.info/ar/answers/153808/حكم-قول-الإنسان-أنا-أصنع-قدري

Alih Bahasa:

al-Faqiir Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H

[1] Dr. Abdurrahman bin Saleh al-Mahmud, al-Qadha wa al-Qadr.

[2] QS. Al-Qamar: 49.

[3] QS. Al-An’am: 59.

[4] QS. Al-Hadid: 22.

[5] QS. At-Takwir: 29.

[6] HR. Muslim, no.2653.

[7] QS. At-Takwir: 29.

[8] QS. Al-Kahfi: 29.

Related Posts

  • All Post
  • Doa-Doa
  • Kajian Islam
  • Khotbah Jumat
  • Muamala
  • Tanya Ulama
    •   Back
    • Akhlak
    • Fiqih
    • Hadis
    • Sirah Sahabat
    • Tafsir
    • Umum
    •   Back
    • Allah
    • Malaikat
    • Kitab
    • Rasul
    • Hari kiamat
    • Takdir
    •   Back
    • Sholat
    • Zakat
    • Puasa
    • Haji (Umrah)
    •   Back
    • Rukun Islam
    • Rukun Iman
    • Umum
    • Sholat
    • Zakat
    • Puasa
    • Haji (Umrah)
    • Allah
    • Malaikat
    • Kitab
    • Rasul
    • Hari kiamat
    • Takdir
Adobe Stock

June 17, 2025/

JAKARTA – Setiap orang, pasti akan merasa bahagia jika dicintai, termasuk meraih cinta Allah. Dia akan...

Edit Template

Yuk Subscribe Kajian Sunnah

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.

Popular Posts

No Posts Found!

Trending Posts

No Posts Found!

© 2024 Kajiansunnah.co.id