(Artikel Umum)
ANDAIKAN DOSA MEMILIKI BAU
Salah seorang ulama terdahulu yang bernama Muhammad bin Wasi’ rahimahullah pernah berkata,
لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ أَنْ يَجْلِسَ إِلَيَّ.
“Andaikan dosa itu memiliki bau, niscaya tidak ada dari seorang pun yang ingin duduk berdekatan dengan diriku.” (Muhasabah an-Nafs, hal. 37).
Apa yang beliau sampaikan ini kita jadikan sebagai renungan bersama, serta nasihat atas segala kelalaian diri dari perbuatan-perbuatan dosa. Kalau seandainya dosa kita memiliki bau, maka sudah bisa dipastikan orang-orang yang ada di sekitar tidak akan nyaman dengan aroma yang ada di tubuh kita. Mengapa bisa demikian? Karena saking banyaknya dosa kita, baik itu yang terlihat maupun yang tersembunyi.
Apa itu dosa? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
فَإِنَّ الخَيْرَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الشَّرَّ رِيْبَةٌ.
“Sesungguhnya kebaikan itu senantiasa mendatangkan ketenangan, sedangkan kejelekan itu selalu mendatangkan kegelisahan.” (HR. Al-Hakim, dalam “al-Mustadrak”, hal. 2/51. Dinilai shahiih oleh Syekh al-Albani).
Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ.
“Kebaikan merupakan akhlak mulia, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Engkau tidak akan senang jika kejelekan itu dilihat oleh banyak manusia.” (HR. Muslim, no. 2553).
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
هو ما اختلج وتردد ولم تَطمَئِنّ النفس إلى فعله.
“Dosa itu selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan jiwa dalam melakukannya.” (Al-Minhaj, hal. 16/111).
Inilah di antara cara supaya kita mengetahi, kira-kira mana perbuatan yang layak untuk dilakukan dan tidak. Supaya kita tahu pula mana yang dosa dan mana yang kebaikan. Hendaknya kita menanyakan hal tersebut kepada hati nurani kita terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu, apakah hal itu baik atau buruk.
Mari kita simak arahan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal tersebut, bahwa beliau pernah memberikan sebuah nasihat kepada Wabishoh,
اسْتَفْتِ نَفْسَكَ، اسْتَفْتِ قَلْبَكَ يَا وَابِصَةُ –ثَلاَثاً– الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ. وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِى الصَّدْرِ…
“Mintalah fatwa pada jiwamu. Mintalah fatwa pada hatimu (beliau mengatakannya sampai tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati. Sedangkan kejelekan (dosa) selalu menggelisahkan jiwa dan menggoncangkan hati.” (HR. Ad Darimi 2/320 dan Ahmad 4/228. Syekh al-Albani menilai hadis ini hasan lighoirihi dalam kitabnya al-Irwa’, no. 1734).
Hadis Wabishoh dan yang semisal dengannya menunjukkan pada kita untuk senantiasa menanyakan pada hati kecil kita, ketika ada sesuatu yang terasa meragukan. Jika jiwa dan hati kita tenang, maka, itu pertanda bahwa sesuatu tersebut adalah kebaikan dan halal (hukumnya). Namun, jika hati dalam keadaan gelisah, maka menunjukkan bahwa sesuatu tersebut merupakan suatu dosa dan keharaman. Demikianlah penjelasan dari Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah.
Hadis Wabishoh di atas menjelaskan kepada kita, bahwa perbuatan yang belum jelas kehalalan atau keharamannya, dan mengenai dosa ataukah bukan. Sedangkan jika sesuatu sudah jelas bahwa ia halal atau haram, maka tidak perlu untuk menanyakan pada hati. Demikian pula pada orang yang memang sudah mati hatinya. Wallahu a’lam.
Ditulis
Oleh:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H