
JAKARTA – Seorang Muslim pasti bertanya-tanya tentang istri bekerja di luar untuk membantu mencari nafkah keluarga. Lantas, apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam? Dosakah kepala rumah tangga yang izinkan istri bekerja di luar rumah?
Istri bekerja di luar rumah merupakan hal yang lumrah terjadi dewasa ini. Banyak faktor yang mendorong seorang istri untuk turut berkontribusi dalam perekonomian keluarga, seperti kebutuhan finansial yang meningkat, keinginan untuk mengembangkan diri, atau kesempatan yang datang.
Islam sendiri tidak melarang seorang istri untuk bekerja, namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Salah satunya ialah mendapatkan izin dari suaminya. Seorang istri sebaiknya meminta izin kepada suaminya sebelum memutuskan untuk bekerja. Hal ini menunjukkan rasa hormat dan saling menghormati dalam rumah tangga.
Tentu saja ada koridor-koridor yang harus diperhatikan, salah satunya tak ada ikhtilath alias campur-baur antara lelaki dan perempuan bukan mahram. Maka dari itu, untuk para suami dan istri bisa simak penjelasannya di bawah ini.
Berikut Penjelasan Lengkap Jika Istri Bekerja di Luar:
Pertanyaan:
Apa hukumnya bagi seorang istri yang keluar rumah untuk bekerja di suatu tempat yang tidak ada ikhtilath (campur baur antara lelaki dan perempuan bukan mahram). Adapun anak-anaknya, mereka diawasi oleh seorang pendidik muslimah yang digaji, dan ini semua sudah mendapatkan persetujuan dari suami. Bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Tidak mengapa jika memang kenyataannya demikian, dengan syarat tidak terjadi khulwah (campur baur) antara suaminya dengan wanita muslimah yang ada di dalam rumahnya itu, sehingga tidak terjadi fitnah. Namun apabila di rumah terjadi khulwah antara suami dengan wanita yang bukan mahram, maka istri harus tetap berada di rumah, tidak perlu pergi untuk bekerja, karena sesungguhnya, suaminya itulah yang berkewajiban untuk memberi nafkah kepadanya.
Sumber:
Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, al-Fataawaa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa-il al-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa al-Balad al-Haraam, Bab: Fataawaa Nisaa-iyyah, no. 10, hal. 1073 (Cet. Pertama, th. 1999M/1420H), disampaikan oleh Syekh Bin Baz, dalam Fawta Islamiyyah, juz. 3, hal. 386.
Alih bahasa:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H