
JAKARTA – Hukum berpegang pada satu mazhab dalam Islam merupakan isu yang sering dibahas dalam ranah fiqih. Secara umum, berpegang pada satu mazhab diperbolehkan dan sering kali disarankan, terutama bagi orang awam yang tidak memiliki kemampuan mendalam untuk meneliti berbagai dalil dari mazhab-mazhab yang berbeda.
Berikut Penjelasan Lengkap Terkait Hukum Berpegang pada Satu Mazhab:
Pertanyaan:
Apakah boleh untuk bersikap fanatik terhadap mazhab yang diikuti oleh seseorang dalam masalah hukum-hukum syariat, meskipun hal itu mungkin bertentangan dengan kebenaran? Ataukah boleh meninggalkan mazhab tersebut dan mengikuti pendapat yang lebih benar dalam beberapa kondisi? Bagaimana hukum berpegang pada satu mazhab saja?
Jawaban:
Berpegang pada satu mazhab dari empat mazhab Ahlus Sunnah yang terkenal, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali, tidak ada masalahnya. Seseorang boleh mengatakan “si fulan adalah seorang Syafi’i”, “si fulan adalah seorang Hanbali”, “si fulan adalah seorang Hanafiy”, atau “si fulan adalah seorang Maliki”. Bahkan sebutan-sebutan ini sudah ada sejak zaman dahulu dan digunakan oleh para ulama besar. Sebagai contoh, kita sering mendengar sebutan seperti “Ibn Taimiyyah al-Hanbali” atau “Ibn Qayyim al-Hanbali”, dan sebagainya.
Jadi, tidak ada larangan untuk sekadar menyebutkan diri kita dengan sebutan sesuai dengan mazhab yang kita ikuti, asalkan kita tidak terikat untuk menerima segala sesuatu dari mazhab tersebut, baik itu benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai dengan dalil-dalil syar’i. Sebab, kita harus mengambil yang benar dan meninggalkan yang salah. Jika seseorang mengetahui bahwa suatu pendapat itu keliru atau bertentangan dengan kebenaran, maka tidak boleh mengikutinya.
Apabila muncul pendapat yang lebih kuat dan sesuai dengan sunnah Rasulullah ٍٍٍShalallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita wajib mengikutinya, meskipun itu tidak ada dalam mazhab yang kita ikuti. Sebab, yang menjadi teladan utama bagi kita adalah Rasulullah ٍٍٍShalallahu ‘alaihi wa sallam, bukan mazhab tertentu. Oleh karena itu, kita mengambil pendapat dari mazhab mana pun selama pendapat tersebut tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah ٍٍٍShalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada pendapat yang bertentangan dengan hadis sahih, maka itu adalah kesalahan dari imam atau mujtahid tersebut, dan kita harus meninggalkannya untuk mengikuti sunnah yang sahih.
Adapun orang yang hanya mengikuti pendapat imam tertentu tanpa mempertimbangkan kebenaran atau kesalahan dalam pendapat tersebut, baik itu benar atau salah, maka itu adalah bentuk taklid buta. Jika seseorang meyakini bahwa kita wajib mengikuti satu orang tertentu saja selain Rasulullah ٍٍٍShalallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu bisa dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Dalam hal ini, Syekh al-Islam Ibn Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa seseorang harus mengikuti orang tertentu selain Rasulullah ٍٍٍShalallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang tersebut harus diberi kesempatan untuk bertaubat. Jika ia tidak mau bertaubat, maka ia harus dihukum mati, karena tidak ada yang wajib diikuti selain Rasulullah ٍٍٍShalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Namun, pendapat-pendapat para imam mujtahid yang benar dan sesuai dengan sunnah Rasulullah ٍٍٍShalallahu ‘alaihi wa sallam tetap menjadi rujukan kita, dan kita boleh mengikutinya. Akan tetapi, jika seorang mujtahid salah dalam ijtihadnya, maka kita tidak boleh mengikuti pendapat tersebut.
Pertanyaan: Apa ukuran atau tolok ukur untuk menilai kebenaran atau kesalahan suatu pendapat, apakah itu sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?
Jawaban: Tidak diragukan lagi, ukuran atau tolok ukur untuk menilai kebenaran atau kesalahan suatu pendapat adalah apakah pendapat tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Dijawab oleh: Syeikh Sholih Bin Fauzan Hafidzohullah
Sumber: Majmu’ Fatawa Fadhilatis Syeikh Sholih Bin Fauzan (Jilid 2/ Hal 802)
Alih Bahasa: Abu Utsman Surya Huda Aprila