
JAKARTA – Suap-menyuap adalah praktik yang kerap terjadi di berbagai lini kehidupan. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap praktik ini? Apakah hanya dianggap dosa kecil atau ada konsekuensi besar dalam syariat?
Berikut Tanya Jawab Soal Hukum Suap-Menyuap
Pertanyaan:
Apa hukum suap-menyuap secara syariat?
Jawaban:
Suap-menyuap hukumnya adalah haram berdasarkan nash (dalil syariat) dan ijmak (kesepakatan para ulama). Suap-menyuap adalah perbuatan memberikan sesuatu kepada seorang hakim dan selainnya dengan tujuan agar dia melenceng dari kebenaran, dan agar memberikan keputusan sesuai dengan apa yang penyuap inginkan.
Mengenai hal ini, dalam sebuah hadis sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي.
“Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap.”
[1]
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga melaknat orang yang menyuap,[2] yaitu dia (orang) yang menjadi perantara antara keduanya. Tidak diragukan lagi, bahwa dia berdosa dan berhak mendapatkan cacia, celaan dan hukuman karena membantu dalam melakukan perbuatan dosa serta melampaui batas, padahal Allah ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلى الإِثْمِ وَالعُدْوانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ العِقَابِ
“Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan, janganlah kalian saling tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya siksaan Allah sangat pedih.”[3]
Sumber:
Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, al-Fataawaa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa-il al-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa al-Balad al-Haraam, Bab: al-Mu’aamalaat, no. 3, hal. 631 (Cet. Pertama, th. 1999M/1420H), disampaikan oleh Syekh Bin Baz rahimahullah, dalam Kitaab ad-Da’wah, hal. 1/156.
Alih Bahasa:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H
[1] HR. Abu Dawud dalam kitab al-Aqdhiyyah, no. 3580, at-Tirmidzi dalam kitab al-Ahkaam, no. 1337, dan Ibnu Majah dalam kitab al-Ahkaam, no. 2313.
[2] HR. Ahmad, no. 21893, al-Bazzar, no. 1353, ath-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabiir, no. 1415. Al-Haitsami berkata dalam Majma’ az-Zawaa-id, 4/199, “Dalam riwayat tersebut terdapat Abu al-Haththab, seorang yang tidak diketahui identitasnya.”
[3] QS. Al-Ma’idah: 2.