
JAKARTA – Saat ini, pertanyaan mengenai hukum wanita bekerja di perkantoran selalu muncul dalam konteks Islam. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar aktivitas bekerja seorang wanita tetap berada dalam koridor syariat, jangan sampai menimbulkan fitnah.
Dalam Islam, perempuan memiliki peran yang sangat mulia. Selain sebagai ibu dan istri, perempuan juga memiliki hak untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial. Al-Qur’an dan hadis banyak memuji perempuan yang salehah, termasuk mereka yang bekerja. Namun, Islam juga memberikan batasan-batasan tertentu, terutama terkait dengan menjaga kehormatan diri dan keluarga. Lantas, bagaimana hukum wanita bekerja di perkantoran?
Berikut Penjelasan Lengkap Terkait Hukum Wania Bekerja di Perkantoran:
Pertanyaan:
Apakah diperbolehkan bagi seorang wanita bekerja di perkantoran, semisal di kantor urusan agama dan perwakafan?
Jawab:
Ketika seorang wanita bekerja di perkantoran, maka ia tidak akan terlepas dari dua kemungkinan berikut:
1. Pekerjaannya di kantor yang isinya hanya para wanita, semisal kantor pembinaan sekolah putri, atau yang semisalnya, di mana pada tempat tersebut hanya dikunjungi oleh kaum wanita. Bekerjanya wanita di kantor semacam ini maka tidak mengapa.
2. Apabila pekerjaannya di kantor yang terdapat campur baur antara laki-laki dan perempuan, maka wanita tidak diperbolehkan bekerja di sana dengan mitra kerja laki-laki (bukan mahram) yang satu kantor dengannya. Hal ini dikarenakan bisa terjadi fitnah akibat dari bercampur baurnya laki-laki dan wanita.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mewanti-wanti umatnya terhadap fitnah wanita. Beliau menyampaikan, bahwa setelah kepergian (kematian)-nya beliau, tidak ada fitnah yang jauh lebih membahayakan bagi kaum laki-laki daripada fitnahnya kaum wanita.
Bahkan sampai di tempat-tempat ibadah pun Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menganjurkan jauhnya jarak saf salat antara laki-laki dan perempuan untuk saling berjauhan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu sabda beliau,
خَيرُ صُفُوفِ الْمَرْأةِ آخرُهَا وَشَرُّها أَوَّلُهَا.
“Sebaik-baik saf perempuan adalah yang paling belakang, dan seburuk-buruk safnya ialah yang paling depan.”[1]
Hal ini dikarenakan saf paling depan adalah saf yang paling dekat dengan kaum laki-laki, sehingga menjadi saf yang paling buruk (bagi kaum wanita). Adapun saf yang paling akhir (belakang) adalah saf yang paling jauh dari kaum laki-laki. Ini sebagai dalil, bahwa syariat telah menetapkan agar wanita menjauhi campur baur dengan laki-laki.
Dari hasil pengamatan terhadap kondisi umat jelas sekali, bahwa campur baurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki adalah fitnah besar yang mereka akui. Namun sayangnya, kini mereka merasa kesulitan untuk berlepas diri dari camur baut tersebut dengan leluasa, hal ini tentu dikarenakan kerusakan yang sudah menyebar di mana-mana.
Sumber:
Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, al-Fataawaa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa-il al-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa al-Balad al-Haraam, Bab: Fataawaa Nisaa-iyyah, no. 11, hal. 1075-1076 (Cet. Pertama, th. 1999M/1420H), disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Saleh al-Utsaimin rahimahullah, dalam Nuur ‘alaa ad-Darb, hal. 82-83.
Alih Bahasa:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H
[1] HR. Muslim, dalam kitab ash-Shalah, no. 440.