
JAKARTA – Seorang wanita yang senang pergi ke pasar tanpa keperluan dalam syariat Islam memiliki aturan yang ketat karena bisa menimbulkan fitnah. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak pemaparan di bawah ini:
Hukum Terkait Wanita yang Senang Pergi ke Pasar Tanpa Keperluan
Pertanyaan:
Banyak dari para wanita yang sering pergi ke pasar, baik itu karena memang ada keperluan maupun tidak. Terkadang mereka juga keluar tanpa disertai mahram, padahal di pasar-pasar itu banyak sekali fitnahnya. Bagaimana pendapat Syekh mengenai hal ini? Semoga Allah membalas Syekh dengan kebaikan.
Jawaban:
Tidak diragukan lagi, bahwa menetapnya wanita di rumah merupakan kebaikan baginya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis,
وبُيُوتُهُنَّ خَيرٌ لَّهُنَّ.
“Rumah-rumah mereka itulah tempat tinggal yang paling baik untuk mereka.”[1]
Merupakan kepastian, bahwa membebaskan wanita keluar rumah secara penuh bertolak belakang dengan ajaran syariat yang memerintahkan untuk menjaga dan sungguh-sungguh melindungi para wanita dari fitnah.
Wajib bagi para wali (suami) untuk menjadi lelaki sejati dalam mengurus rumah tangganya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya,
﴿ الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلى النِّسَآءِ ﴾
“Kaum lelaki (para suami) adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri-istri mereka).”[2]
Namun sangat disayangkan, akhir-akhir ini kita melihat bahwa sebagian dari kamu Muslimin mulai menyerahkan urusan kepemimpinan kepada para wanita, sehingga hal ini menjadikan mereka bisa mengatur berbagai macam urusan para lelaki.
Anehnya, mereka mengklaim, bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk kemajuan dan peradaban. Sungguh, sangat kasihan sekali mereka. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan,
لَنْ يُفْلِحَ قَومٌ وَلَّوا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً.
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.”[3]
Setiap dari kita paham bahwa sifat wanita itu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
مَا رَأَيتُ مِن نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبٍّ الرَّجُلِ الحَازِمِ مِن إِحْدَاكُنَّ.
“Tidaklah aku melihat seseorang yang memiliki dua kekurangan pada akal dan agamanya, yang lebih menghilangkan akal laki-laki, dibandingkan dengan salah seorang dari kalian (wanita).”[4]
Oleh karenanya, para lelaki harus melaksanakan kewajiban yang telah Allah amanahkan kepada mereka, yaitu kewajiban terhadap wanita (menjaga istri).
Sebaliknya, terkadang ada laki-laki (suami) yang buruk akhlaknya terhadap wanita (istri), sampai-sampai melarangnya pergi kemanapun, termasuk pergi untuk silaturrahim dengan kerabat yang memang sudah seharusnya saling menjaga hubungan tali silaturrahim dengan mereka, semisal; ibu, ayah, saudara, paman, bibi, dengan tetap menjaga kondisi terjaga dari fitnah, namun tetap tidak boleh. Laki-laki itu mengatakan, “Engkau tidak boleh keluar rumah selamanya. Kau adalah tahanan rumah!” Sembari mengutip sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُم.
“Mereka itu (para wanita) adalah tawanan kalian.”[5]
Dia juga sembari mengatakan, “Engkau adalah tawananku, jangan keluar, jangan beraktifitas, jangan bepergian! Tidak boleh ada satupun orang yang mengunjungimu, begitu pula dengan dirimu, tidak boleh mengunjungi saudaramu.” Padahal syariat agama berada di pertengahan dari dua kondisi di atas.
Alih Bahasa:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H
Sumber:
Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, al-Fataawaa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa-il al-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa al-Balad al-Haraam, Bab: Fataawaa Nisaa-iyyah, no. 27, hal. 1092-1093 (Cet. Pertama, th. 1999M/1420H), disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Saleh al-‘Utsaimin rahimahullah, dalam Majmuu’ Duruus Fataawaa al-Haram al-Makky, juz 3, hal. 250-251.
[1] HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, no. 567, Ahmad, no. 4554, 5448.
[2] QS. An-Nisa’: 34.
[3] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Maghaazii, no. 4425.
[4] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Haidh, no. 304, dan Muslim dalam kitab al-Iimaan, no. 80.
[5] HR. At-Tirmidzi dalam kitab ar-Radhaa’, no. 1163 dan Ibnu Majah dalam kitab an-Nikaah, no. 1851.