JAKARTA – Keyakinan bahwa Allah berada di atas merupakan akidah para Nabi, sahabat, dan ulama salaf, termasuk Imam Syafi’i rahimahullah. Penegasan ini telah disampaikan oleh banyak ulama yang menukil pernyataan beliau dan murid-muridnya, menunjukkan kesepakatan generasi awal Islam tentang ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Keyakinan Imam Syafi’i bahwa Allah di atas: Telah dijelaskan oleh banyak para ulama akan i’tiqod atau kepercayaan Imam Syafi’i tentang ketinggian Allah ta’ala, salah satu di antara mereka adalah Imam Abu Utsman As-Shobuni As-Syafi’i rahimahullah: “Ulama dari kalangan Ashabul Hadist telah percaya dan bersaksi bahwa Allah ta’ala di atas langit ke tujuh, beristiwa di atas Arsy, sebagaimana yang disampaikan dalam Al-Qur’an….” Kemudian Imam As-Shobuni menukilkan pendapat dari Imam Malik, Ibnul Mubarak, Ibnu Khuzaimah, setelah itu beliau mengatakan: “Dan Imam kami Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i telah berhujjah pada permasalahan bolehnya membebaskan budak mukmin dalam rangka membayar kaffarah adapun budak mukmin maka tidak boleh, dengan berdalil hadis Mu’awiyyah bin Al-Hakam yang mana beliau ingin memerdekakan budak beliau sebagai bentuk membayar kaffarah, lalu Nabi bertanya kepada budak tersebut tentang di mana Allah dan budak itu pun menunjuk ke arah langit, lalu Nabi pun mengatakan ‘Bebaskanlah ia karena ia adalah seorang mukmin’. Di sini Rasulullah menghukumi Islam dan imannya si budak ketika si budak meyakini bahwa Allah berada di atas, di langit, dan dia pun yakin bahwa Allah memiliki sifat ketinggian.” [1] Salah satu muridnya Imam Syafi’i bernama al-Muzani, beliau adalah murid yang gigih dan selalu bermulazamah kepada Imam Syafi’i. Salah satu jasa beliau adalah menyebarkan mazhab Imam Syafi’i ke negeri-negeri yang jauh. Imam Muzani menulis sebuah kitab yang diberi judul Syarhu As-Sunnah, kitab tersebut merepresentasikan akidah beliau, beliau mengatakan di awal kitab: الْحَمد لله أَحَق من ذكر وَأولى من شكر وَعَلِيهِ أثني الْوَاحِد الصَّمد الَّذِي لَيْسَ لَهُ صَاحِبَة وَلَا ولد جلّ عَن المثيل فَلَا شَبيه لَهُ وَلَا عديل السَّمِيع الْبَصِير الْعَلِيم الْخَبِير المنيع الرفيع عَال على عَرْشه فِي مجده بِذَاتِهِ وَهُوَ دَان بِعِلْمِهِ من خلقه “Segala puji bagi Allah, dialah dzat yang berhak untuk disebut, dan paling pantas untuk disyukuri, dan aku memujinya al-Wahid as-Shomad yang tidak membutuhkan pasangan ataupun anak, tersucikan dari penyerupaan dengan makhluk apa pun, yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Melihat lagi Maha Tinggi, Dia tinggi dengan dzat-Nya di atas Arsy-Nya, dan Ia dekat dengan ilmunya pada hamba-hamba-Nya.” [2] Disadur dari web islamqa.com dengan perubahanAlih Bahasa: Abu Husna Gilang Malcom Habiebie [1] Aqidah Salaf wa Ashabul Hadis hal. 175 dan 188[2] Syarhu Sunnah hal. 80 – 81 https://www.youtube.com/watch?v=CciAP8TuBQY
APAKAH NABI ISA ADALAH SEORANG MUSLIM?
JAKARTA – Banyak orang mengira Nabi Isa hanya dikenal dalam agama tertentu, padahal Islam memandang beliau sebagai salah satu nabi besar yang diutus Allah. Bahkan, ajaran yang dibawa Nabi Isa sejalan dengan ajaran para nabi lainnya, yaitu agama Islam. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an dan penjelasan para ulama. Berikut Tanya-Jawab Soal Nabi Isa Soal:Apakah Nabi Isa adalah seorang muslim? Jawaban: Sesungguhnya Nabi Isa dan para Nabi yang lain berada di atas agama yang sama yaitu Islam, sebagaimana Allah ta’ala berfirman: إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ وَمَا ٱخۡتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam. Orang-orang yang telah diberi kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan(-Nya).” [1] Dan Allah juga berfirman: قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَمَآ أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ أُوتِيَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّنۡهُمۡ وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ “Katakanlah (wahai orang-orang yang beriman), ‘Kami beriman kepada Allah, pada apa yang diturunkan kepada kami, pada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub dan keturunannya, pada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta pada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan (hanya) kepada-Nya kami berserah diri.’” [2] Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “Ini adalah bentuk kabar dari Allah ta’ala bahwasannya tidak ada agama yang Ia terima dari seorang pun kecuali Islam, yang maksudnya adalah mengikuti rasul-rasul yang Allah utus pada masa tertentu, sampai ditutup dengan kedatangan Nabi Muhammad.” [3] Semua Nabi agama mereka adalah satu yaitu Islam, sebagaimana pernah dijelaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: وَالْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ “Para Nabi adalah bersaudara (dari keturunan) satu ayah dengan ibu yang berbeda, sedangkan agama mereka satu.” [4] Sebab itulah Nabi Isa adalah seorang muslim, yang akan Allah turunkan di akhir zaman untuk mengabarkan kepada umat bahwa beliau muslim, dan berhukum dengan syariat Islam. Disadur dari islamweb.com dengan perubahanAlih Bahasa: Abu Husna Gilang Malcom Habiebie [1] Q.S Ali Imran ayat 19[2] Q.S Al-Baqarah ayat 136[3] Tafsir Ibnu Katsir 2/20 cet Daar Tayyibah[4] HR Bukhari no: 3443 dan Muslim no: 2365B https://www.youtube.com/watch?v=SLoWQiK_96E
MENJADI MUKMIN YANG KUAT
JAKARTA – Menjadi mukmin yang kuat bukan hanya tentang kekuatan fisik, tapi juga kekuatan iman, tekad, dan kesungguhan dalam meraih kebaikan. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar kita berusaha maksimal dalam hal yang bermanfaat, senantiasa meminta pertolongan kepada Allah, menjauhi kelemahan, serta menerima takdir dengan lapang dada. Menjadi Mukmin yang Kuat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: المُؤْمِنُ الْقَويُّ خَيرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ المُؤْمِن الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلَا تَعْجَزْ، وَإن أَصَابَكَ شَيءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛ فَإنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيطَانِ “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, namun pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah lemah. Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata: ‘Seandainya aku melakukan demikian niscaya akan begini dan begitu.’ Tetapi katakanlah: ‘Ini sudah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena sesungguhnya perkataan ‘seandainya’ membuka pintu perbuatan syaitan.”(HR. Muslim no 2664) Hadis ini mengandung banyak pelajaran penting tentang aqidah, akhlak, serta adab seorang mukmin dalam menyikapi kehidupan. Para ulama menjelaskan beberapa poin faidah sebagai berikut: 1. Penetapan Sifat Mahabbah (Cinta) bagi Allah Ta’ala Dalam hadis ini terdapat penetapan sifat mahabbah bagi Allah dengan makna yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk-Nya. Kecintaan Allah terhubung dengan perkara-perkara yang dicintai-Nya, baik berupa amal perbuatan maupun pelaku amal tersebut. Allah mencintai mukmin yang kuat lebih daripada mukmin yang lemah. 2. Tingkatan Keimanan Berbeda-beda Hadis ini menunjukkan bahwa keimanan seorang hamba bisa bertambah dan berkurang. Seorang mukmin yang kuat dalam iman dan amal lebih utama dibandingkan yang lemah. Hal ini mendukung pendapat yang benar bahwa, إن الإيمان يزيد وينقص sesungguhnya iman itu bertambah dan berkurang (sesuai dengan ketaatan atau kemaksiatan). 3. Mukmin Lemah Pun Tetap Memiliki Kebaikan Meski mukmin lemah lebih rendah derajatnya dibandingkan mukmin yang kuat, tetap ada kebaikan pada dirinya karena iman dan amal shalih yang dimilikinya. Allah mencintai seluruh orang beriman, meskipun kecintaan itu bertingkat-tingkat. 4. Adab dalam Menyebutkan Keutamaan Ketika membandingkan antara dua hal (baik manusia, amal, atau golongan), hendaknya disebutkan sisi keutamaan masing-masing. Jangan mengabaikan kebaikan yang ada pada pihak yang lebih rendah agar tidak jatuh kepada celaan yang tidak adil. 5. Anjuran Bersungguh-sungguh dalam Meraih Manfaat Seorang mukmin yang kuat diperintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam mengejar apa yang bermanfaat, baik dalam urusan agama maupun dunia. Kesempurnaan seorang hamba terletak pada dua hal: kesungguhan dalam mengejar maslahat dan memastikan bahwa apa yang diusahakan adalah sesuatu yang bermanfaat. 6.Larangan Menyia-nyiakan Waktu dan Tenaga untuk Hal yang Tidak Bermanfaat Hadis ini mengajarkan agar seorang muslim tidak membuang waktunya pada hal yang sia-sia atau mendatangkan mudarat. Hal ini selaras dengan firman Allah: وَٱلۡعَصۡرِ 1 إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ 2 “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (QS. Al-‘Ashr: 1-2) 7. Kewajiban Memohon Pertolongan kepada Allah Segala ikhtiar seorang hamba dalam meraih maslahat tidak akan sempurna tanpa pertolongan dari Allah. Perintah untuk “beristianah (meminta pertolongan)” mengingatkan bahwa segala daya dan upaya manusia terikat dengan kehendak Allah. 8.Kesungguhan dalam Ikhtiar Tidak Boleh Membuat Lupa kepada Allah Manusia yang terlalu sibuk mengejar sebab terkadang tertipu, merasa semua pencapaiannya hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu, setelah diperintahkan untuk bersungguh-sungguh, langsung diiringi dengan perintah meminta pertolongan kepada Allah agar manusia tetap rendah hati dan bersandar kepada-Nya. 9. Larangan Bersikap Lemah dan Malas Hadis ini memerintahkan agar seorang mukmin menjauhi kelemahan, kemalasan, dan membiarkan diri dalam keadaan tidak berdaya (al-‘ajz). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Kelemahan (sikap malas dan tidak berdaya) bertentangan dengan semangat seseorang dalam meraih hal yang bermanfaat, dan bertentangan pula dengan permohonannya akan pertolongan kepada Allah. Maka orang yang bersungguh-sungguh mengejar manfaat dan meminta pertolongan kepada Allah adalah lawan dari orang yang lemah (malas dan tidak berdaya” [1] 10. Beriman kepada Takdir Tidak Menafikan Upaya dan Ikhtiar Keyakinan kepada takdir bukan berarti pasrah tanpa usaha. Segala yang Allah takdirkan pasti terjadi, namun manusia tetap diperintahkan untuk berusaha menjemput kebaikan dan menolak keburukan dengan sebab-sebab yang diizinkan syariat. 11. Larangan Mengucapkan ‘Seandainya’ atas Perkara yang Sudah Terjadi Untuk jadi mukmin yang kuat, mengucapkan “seandainya aku melakukan begini niscaya akan begini dan begitu” atas sesuatu yang telah berlalu merupakan bentuk penyesalan yang menunjukkan ketidakridhaan kepada takdir Allah. Ucapan ini membuka pintu bisikan syaitan, menimbulkan kesedihan, kelemahan hati, dan merusak keimanan terhadap qadha’ dan qadar. Namun, jika kata “seandainya” digunakan untuk mendorong kepada amal shalih di masa depan, atau dalam bentuk berita murni (bukan penyesalan), maka itu diperbolehkan. Contohnya ucapan Nabi ﷺ: “Seandainya aku tahu sebelumnya, tentu aku tidak akan membawa hewan qurban dan aku akan menjadikannya umrah.” [2] 12. Peringatan dari Tipu Daya Syaitan Hadis ini mengingatkan bahwa syaitan senantiasa mencari celah untuk menjerumuskan manusia, termasuk melalui bisikan putus asa dan rasa penyesalan berlebih terhadap apa yang telah terjadi. 13. Adab Ucapan Seorang Mukmin Nabi ﷺ mengajarkan agar seorang mukmin menjaga lisannya dengan mengucapkan, “Qaddarallahu wa maa syaa’a fa‘al” (Ini adalah takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi). Ucapan ini menunjukkan sikap ridha dan berserah diri kepada keputusan Allah. Kesimpulan: Hadis ini adalah panduan hidup bagi seorang mukmin agar menjadi pribadi yang kuat dalam iman, gigih dalam usaha, dan selalu bergantung kepada Allah. Ia mengajarkan adab dalam menyikapi takdir, mengatur sikap saat gagal dan berhasil, serta menjaga diri dari bisikan syaitan yang merusak keimanan. Wallahu a’lam Ditulis oleh: Abu Utsman Surya Huda AprilaDiringkas dari: Minhatul ‘Allam Jilid 10 hal 338 – 343 [1] Syifaul ‘alil jilid 1 hal 231[2] HR Muslim 1218 https://www.youtube.com/watch?v=95oNNIF6zJA&pp=0gcJCa0JAYcqIYzv
HUKUM MEMBAKAR SAMPAH DI AREA KOMPLEK PERUMAHAN MENURUT ISLAM DAN UU INDONESIA
JAKARTA – Membakar sampah sering dianggap solusi cepat untuk mengurangi limbah rumah tangga. Namun, asap pekat, bau menyengat, dan risiko kebakaran yang ditimbulkannya dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan, serta merusak lingkungan. Dalam Islam, segala bentuk perbuatan yang membawa mudarat bagi diri sendiri maupun orang lain dilarang. Demikian pula, hukum positif di Indonesia mengatur larangan membakar sampah sembarangan karena membahayakan kesehatan masyarakat dan mencemari lingkungan. Hukum Membakar Sampah dalam Islam 1. Larangan Membahayakan Diri dan Orang Lain (الضرر والضرار) Sebuah kaidah mengatakan: “لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ” “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” Membakar sampah yang menimbulkan asap pekat dan bau menyengat dapat mengganggu kesehatan pernapasan, mencemari lingkungan, serta mengganggu kenyamanan tetangga. Perbuatan ini termasuk bentuk dharar yang dilarang syariat. 2. Larangan Menyakitkan Tetangga (إيذاء الجار) Rasulullah ﷺ bersabda: “وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، قِيلَ: مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ” “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Ditanyakan, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6016, Muslim no. 46) Asap pembakaran sampah yang menyebar ke rumah tetangga termasuk bentuk gangguan (adzā), yang menunjukkan lemahnya iman seorang Muslim karena tidak menjaga hak tetangganya. 3. Ancaman bagi Orang yang Mengganggu Kaum Mukminin Allah ﷻ berfirman: وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58) Ayat ini mengandung ancaman keras bagi siapa saja yang mengganggu kaum Muslimin tanpa alasan yang dibenarkan. Termasuk di dalamnya perbuatan yang mengganggu kenyamanan hidup mereka, seperti asap dan bau pembakaran sampah yang menyebar ke lingkungan tempat tinggal. 4. Perintah Membersihkan Lingkungan dan Menghilangkan Gangguan Rasulullah ﷺ bersabda: “إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ” “Menyingkirkan gangguan dari jalan itu adalah sedekah.” (HR Muslim no. 720) Hadis ini menunjukkan betapa Islam sangat menganjurkan menjaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan. Membakar sampah hingga asapnya mengganggu tetangga bertentangan dengan semangat hadis ini karena menambah gangguan di jalan dan lingkungan umum. Hukum Membakar Sampah dalam Perundang-Undangan Indonesia UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengatur dengan tegas bahwa pengelolaan sampah harus dilakukan dengan prinsip ramah lingkungan. Pasal 29 ayat (1): “Setiap orang dilarang: Memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengimpor sampah; Mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun; Mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan” Artinya, aktivitas membakar sampah secara sembarangan, apalagi di area komplek perumahan tanpa mengikuti prosedur teknis yang ditetapkan, adalah perbuatan yang melanggar hukum. Sanksi Hukum Pasal 40 UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan sanksi pidana bagi pelaku pelanggaran pengelolaan sampah: “Pengelola sampah yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)..” Selain sanksi pidana, pemerintah daerah biasanya memiliki Peraturan Daerah (PERDA) yang lebih spesifik mengatur larangan pembakaran sampah dan sanksinya. Penutup Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqih, membakar sampah sembarangan di area komplek perumahan hukumnya haram karena termasuk bentuk gangguan kepada tetangga, membahayakan kesehatan diri sendiri dan orang lain, serta merusak lingkungan. Negara juga mengatur larangan tersebut melalui UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dengan ancaman pidana dan denda bagi pelanggarnya. Seorang Muslim seyogianya mencari solusi pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, selaras dengan syariat dan aturan negara. Ditulis oleh : Abu Utsman Surya Huda Aprila Referensi : 1. Alquran2. Hadis3. https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/28066/undangundang-nomor-18-tahun-2008/ https://www.youtube.com/watch?v=PlGs30Ooxx8