MENJADI MUKMIN YANG KUAT

MENJADI MUKMIN YANG KUAT

JAKARTA – Menjadi mukmin yang kuat bukan hanya tentang kekuatan fisik, tapi juga kekuatan iman, tekad, dan kesungguhan dalam meraih kebaikan. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar kita berusaha maksimal dalam hal yang bermanfaat, senantiasa meminta pertolongan kepada Allah, menjauhi kelemahan, serta menerima takdir dengan lapang dada.

Menjadi Mukmin yang Kuat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

المُؤْمِنُ الْقَويُّ خَيرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ المُؤْمِن الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلَا تَعْجَزْ، وَإن أَصَابَكَ شَيءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛ فَإنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيطَانِ

“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, namun pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah lemah. Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata: ‘Seandainya aku melakukan demikian niscaya akan begini dan begitu.’ Tetapi katakanlah: ‘Ini sudah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena sesungguhnya perkataan ‘seandainya’ membuka pintu perbuatan syaitan.”
(HR. Muslim no 2664)

Hadis ini mengandung banyak pelajaran penting tentang aqidah, akhlak, serta adab seorang mukmin dalam menyikapi kehidupan. Para ulama menjelaskan beberapa poin faidah sebagai berikut:

1. Penetapan Sifat Mahabbah (Cinta) bagi Allah Ta’ala

Dalam hadis ini terdapat penetapan sifat mahabbah bagi Allah dengan makna yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk-Nya. Kecintaan Allah terhubung dengan perkara-perkara yang dicintai-Nya, baik berupa amal perbuatan maupun pelaku amal tersebut. Allah mencintai mukmin yang kuat lebih daripada mukmin yang lemah.

2. Tingkatan Keimanan Berbeda-beda

Hadis ini menunjukkan bahwa keimanan seorang hamba bisa bertambah dan berkurang. Seorang mukmin yang kuat dalam iman dan amal lebih utama dibandingkan yang lemah. Hal ini mendukung pendapat yang benar bahwa,

إن الإيمان يزيد وينقص

sesungguhnya iman itu bertambah dan berkurang (sesuai dengan ketaatan atau kemaksiatan).

3. Mukmin Lemah Pun Tetap Memiliki Kebaikan

Meski mukmin lemah lebih rendah derajatnya dibandingkan mukmin yang kuat, tetap ada kebaikan pada dirinya karena iman dan amal shalih yang dimilikinya. Allah mencintai seluruh orang beriman, meskipun kecintaan itu bertingkat-tingkat.

4. Adab dalam Menyebutkan Keutamaan

Ketika membandingkan antara dua hal (baik manusia, amal, atau golongan), hendaknya disebutkan sisi keutamaan masing-masing. Jangan mengabaikan kebaikan yang ada pada pihak yang lebih rendah agar tidak jatuh kepada celaan yang tidak adil.

5. Anjuran Bersungguh-sungguh dalam Meraih Manfaat

Seorang mukmin yang kuat diperintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam mengejar apa yang bermanfaat, baik dalam urusan agama maupun dunia. Kesempurnaan seorang hamba terletak pada dua hal: kesungguhan dalam mengejar maslahat dan memastikan bahwa apa yang diusahakan adalah sesuatu yang bermanfaat.

6.Larangan Menyia-nyiakan Waktu dan Tenaga untuk Hal yang Tidak Bermanfaat

Hadis ini mengajarkan agar seorang muslim tidak membuang waktunya pada hal yang sia-sia atau mendatangkan mudarat. Hal ini selaras dengan firman Allah:

وَٱلۡعَصۡرِ 1 إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ 2

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (QS. Al-‘Ashr: 1-2)

7. Kewajiban Memohon Pertolongan kepada Allah

Segala ikhtiar seorang hamba dalam meraih maslahat tidak akan sempurna tanpa pertolongan dari Allah. Perintah untuk “beristianah (meminta pertolongan)” mengingatkan bahwa segala daya dan upaya manusia terikat dengan kehendak Allah.

8.Kesungguhan dalam Ikhtiar Tidak Boleh Membuat Lupa kepada Allah

Manusia yang terlalu sibuk mengejar sebab terkadang tertipu, merasa semua pencapaiannya hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu, setelah diperintahkan untuk bersungguh-sungguh, langsung diiringi dengan perintah meminta pertolongan kepada Allah agar manusia tetap rendah hati dan bersandar kepada-Nya.

9. Larangan Bersikap Lemah dan Malas

Hadis ini memerintahkan agar seorang mukmin menjauhi kelemahan, kemalasan, dan membiarkan diri dalam keadaan tidak berdaya (al-‘ajz). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Kelemahan (sikap malas dan tidak berdaya) bertentangan dengan semangat seseorang dalam meraih hal yang bermanfaat, dan bertentangan pula dengan permohonannya akan pertolongan kepada Allah. Maka orang yang bersungguh-sungguh mengejar manfaat dan meminta pertolongan kepada Allah adalah lawan dari orang yang lemah (malas dan tidak berdaya” [1]

10. Beriman kepada Takdir Tidak Menafikan Upaya dan Ikhtiar

Keyakinan kepada takdir bukan berarti pasrah tanpa usaha. Segala yang Allah takdirkan pasti terjadi, namun manusia tetap diperintahkan untuk berusaha menjemput kebaikan dan menolak keburukan dengan sebab-sebab yang diizinkan syariat.

11. Larangan Mengucapkan ‘Seandainya’ atas Perkara yang Sudah Terjadi

Untuk jadi mukmin yang kuat, mengucapkan “seandainya aku melakukan begini niscaya akan begini dan begitu” atas sesuatu yang telah berlalu merupakan bentuk penyesalan yang menunjukkan ketidakridhaan kepada takdir Allah. Ucapan ini membuka pintu bisikan syaitan, menimbulkan kesedihan, kelemahan hati, dan merusak keimanan terhadap qadha’ dan qadar.

Namun, jika kata “seandainya” digunakan untuk mendorong kepada amal shalih di masa depan, atau dalam bentuk berita murni (bukan penyesalan), maka itu diperbolehkan. Contohnya ucapan Nabi ﷺ: “Seandainya aku tahu sebelumnya, tentu aku tidak akan membawa hewan qurban dan aku akan menjadikannya umrah.” [2]

12. Peringatan dari Tipu Daya Syaitan

Hadis ini mengingatkan bahwa syaitan senantiasa mencari celah untuk menjerumuskan manusia, termasuk melalui bisikan putus asa dan rasa penyesalan berlebih terhadap apa yang telah terjadi.

13. Adab Ucapan Seorang Mukmin

Nabi ﷺ mengajarkan agar seorang mukmin menjaga lisannya dengan mengucapkan, “Qaddarallahu wa maa syaa’a fa‘al” (Ini adalah takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi). Ucapan ini menunjukkan sikap ridha dan berserah diri kepada keputusan Allah.

Kesimpulan:

Hadis ini adalah panduan hidup bagi seorang mukmin agar menjadi pribadi yang kuat dalam iman, gigih dalam usaha, dan selalu bergantung kepada Allah. Ia mengajarkan adab dalam menyikapi takdir, mengatur sikap saat gagal dan berhasil, serta menjaga diri dari bisikan syaitan yang merusak keimanan.

Wallahu a’lam

Ditulis oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila
Diringkas dari: Minhatul ‘Allam Jilid 10 hal 338 – 343

[1] Syifaul ‘alil jilid 1 hal 231
[2] HR Muslim 1218

Related Posts

  • All Post
  • Doa-Doa
  • Kajian Islam
  • Khotbah Jumat
  • Muamala
  • Tanya Ulama
    •   Back
    • Akhlak
    • Fiqih
    • Hadis
    • Sirah Sahabat
    • Tafsir
    • Umum
    •   Back
    • Allah
    • Malaikat
    • Kitab
    • Rasul
    • Hari kiamat
    • Takdir
    •   Back
    • Sholat
    • Zakat
    • Puasa
    • Haji (Umrah)
    •   Back
    • Rukun Islam
    • Rukun Iman
    • Umum
    • Sholat
    • Zakat
    • Puasa
    • Haji (Umrah)
    • Allah
    • Malaikat
    • Kitab
    • Rasul
    • Hari kiamat
    • Takdir
Edit Template

Yuk Subscribe Kajian Sunnah

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.

Popular Posts

No Posts Found!

Trending Posts

No Posts Found!

© 2024 Kajiansunnah.co.id