Di antara sifat yang sudah seharusnya dimiliki oleh seorang muslim, ialah sifat malu. Kenapa harus dimiliki oleh setiap muslim? Sekurang-kurangnya ada tiga alasan, yaitu:
- Perintah dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Setiap yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pasti baik, apalagi yang berkenaan dengan syariat. Mengapa bisa demikian? Karena beliau berbicara tidak menggunakan hawa nafsu. Demikianlah yang dikabarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُّوحَى.
“Demi bintang ketika terbenam, temanmu (Muhammad) itu bukanlah orang yang tersesat dan tidak pula keliru. Apa yang ia ucapkan bukanlah berdasarkan hawa nafsunya, melainkan itu merupakan wahyu yang diwahyukan kepadanya.”[1]
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,
اِسْتَحْيُوا مِنَ اللهِ حَقَّ الحَيَاءِ!
“Malulah kalian kepada Allah dengan rasa malu yang sebenarnya!”[2]
Ini menunjukkan, bahwa sifat malu merupakan sifat yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam agar umatnya memiliki sifat tersebut.
- Malu itu mendatangkan kebaikan.
Orang yang masih memiliki rasa malu, dia akan terhalang dari segala bentuk keburukan, sehingga tidaklah waktunya ia habiskan melainkan untuk kebaikan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
الحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Rasa malu itu semuanya baik.”[3]
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
الحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ.
“Rasa malu itu pasti mendatangkan kebaikan.”[4]
- Malu merupakan cabang dari keimanan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ.
“Iman itu memiliki tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama ialah ucapan; ‘laa ilaaha illalllah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Begitu pula dengan rasa malu, ia merupakan cabang dari keimanan.”[5]
Salah kaprah dalam menempatkan rasa malu
Sekurang-kurangnya, malu itu terbagi menjadi dua, yaitu: (1) malu yang positif dan (2) malu yang negatif. Namun nyatanya, terkadang masih ada sebagian orang yang menghadirkan rasa malu bukan pada tempatnya.
- Malu yang positif
Malu yang positif (baik) adalah sifat yang menghantarkan pemiliknya semakin tekun beribadah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah. Oleh karena itu, pada kelanjutan hadis di atas tadi, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberikan sebuah contoh rasa malu yang sebenarnya, beliau bersabda,
اِسْتَحْيُوا مِنَ اللهِ حَقَّ الحَيَاءِ!
“Malulah kalian kepada Allah dengan rasa malu yang sebenarnya!”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالحَمْدُ للهِ.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah memiliki rasa malu, walhamdulillah.”
Beliau pun bersabda,
لَيْسَ ذَاكَ، وَلَكِنَّ الاسْتِحْيَاءَ مِن اللهِ حَقَّ الحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالبَطَنَ وَمَا حَوَى، وَلْتَذْكُرِ الْمَوتَ وَالبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الحَيَاءِ.
“Bukan seperti itu maksudnya, akan tetapi malu kepada Allah dengan rasa malu yang sebenarnya itu ialah (1) engkau menjaga kepalamu dan apa saja yang ada di dalamnya, (2) engkau menjaga perutmu serta segala isinya, (3) engkau mengingat kematian beserta keusangannya, (4) dan menginginkan akhirat lalu meninggalkan segala keindahan dunia. Barangsiapa yang melakukuan hal-hal tersebut, sungguh dia telah malu kepada Allah dengan rasa malu yang sebenarnya.”[6]
Sifat malu yang baik, adalah ciri khas para Nabi. Di antara contoh dari sifat malunya para Nabi, ialah kisahnya Nabi Musa ‘alaihis salam. Beliau jika mandi tidak pernah ngumpul bareng teman-temannya. Selalu menyendiri.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً، يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ. وَكَانَ مُوسَى ﷺ يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ. فَقَالُوا: وَاللهِ مَا يَمْنَعُ مُوسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلَّا أَنَّهُ آدَرُ. فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوبَهُ عَلَى حَجَرٍ، فَفَرَّ الحَجَرُ بِثَوبِهِ، فَخَرَجَ مُوسَى فِي إِثْرِهِ، يَقُولُ: ثَوبِي يَا حَجَرُ! حَتَّى نَظَرَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِلَى مُوسَى، فَقَالُوا: وَاللهِ مَا بِمُوسَى مِن بَأْسٍ. وَأَخَذَ ثَوبَه فَطَفِقَ بِالحَجَرِ ضَرْبًا. فَقَالَ أَبُو هُرَيرَةَ: وَاللهِ إِنَّهُ لَنَدَبٌ بِالحَجَرِ، سِتَّةٌ أَوْ سَبْعَةٌ ضَرْبًا بِالحَجَرِ.
“Dahulu, apabila orang-orang Bani Israil mandi, mereka telanjang bulat. Mereka saling melihat aurat satu sama lain. Sedangkan Musa ‘alaihis salam lebih memilih mandi sendiri. Maka mereka pun berkata, ‘Demi Allah, tidaklah ada yang menghalagi Musa untuk mandi bersama kita melainkan karena dia memiliki penyakit hernia.’
Suatu hari, Musa pergi mandi sendirian, lalu ia menaruh bajunya di atas batu. Tiba-tiba batu itu lari membawa baju beliau, maka Musa pun langsung bergegas lari mengejar batu tersebut seraya berkata, “Itu bajuku wahai batu!’ Ketika itu Bani Israil melihat Musa yang sedang berlari mengejar batu, kemudian mereka berkata, ‘Demi Allah, sesungguhnya di tubuh Musa itu tidak terdapat penyakit!’
Akhirnya Nabi Musa pun mendapatkan bajunya, lalu memukul batu itu dengan keras.”
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Demi Allah! Bekas pukulannya Nabi Musa masih ada di batu tersebut, sekitar ada enam atau tujuh pukulan.”[7]
- Malu yang negative
Adapun malu yang negatif (tidak baik) adalah sifat malu yang menghantarkan pemiliknya semakin jauh dari beribadah kepada Allah, contoh malu pergi ke masjid untuk menghadiri salat berjemaah, malu untuk azan, malu mengenakan pakaian muslim/muslimah, malu berbicara baik, malu berzikir di hadapan khalayak ketika tertimpa sesuatu, malu ber-shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, dan malu-malu yang semisalnya.
Malu yang seperti ini tidaklah akan membawa pemiliknya melainkan pada kerugian. Inilah yang dinamakan al-Khajal, berbeda dengan al-Hayaa’. Wallahu ta’ala a’lam bish showwab.
Ditulis oleh:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H
*
[1] QS. An-Najm: 1-4.
[2] HR. At-Tirmidzi, no. 2458. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani.
[3] HR. Ahmad, no. 19157, dari sahabat Imran bin Hushain radhiyallahu’anhu. Sanad-nya dinilai shahiih oleh Syekh Syu’aib al-Arna’uth.
[4] HR. Al-Bukhari, no. 6117. Dari sahabat Imran bin Hushain radhiyallahu’anhu.
[5] HR. Muslim, no. 35.
[6] HR. At-Tirmidzi, no. 2458. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani.
[7] HR. Al-Bukhari, no. 278.