
JAKARTA – Dalam Islam, hukum bersalaman dengan wanita yang bukan mahram secara umum sudah tegas dan jelas, yakni dilarang. Bahkan, Rasulullah صلى الله عليه وسلم melalui riwayatnya tak pernah sekalipun bersalaman dengan wanita yang bukan mahram.
Mahram adalah orang yang secara hukum Islam tidak boleh dinikahi, seperti ibu, saudara perempuan, bibi, dan sebagainya. Larangan bersalaman dengan wanita yang bukan mahram ini bertujuan untuk menjaga kehormatan, menghindari fitnah, dan menjaga hubungan antar individu agar tetap dalam koridor yang dibenarkan agama.
Apalagi, Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan seorang wanita. Dengan menghindari bersalaman dengan wanita bukan mahram, seorang laki-laki menunjukkan sikap menghormati terhadap wanita dan menjaga kehormatannya.
Berikut Penjelasan Tentang Bersalaman dengan Wanita yang Bukan Mahram:
Pertanyaan:
Apa hukumnya bersalaman dengan wanita yang bukan mahram? Bagaimanakah hukumnya jika tangannya menggunakan penutup, seperti dengan kain pakaiannya atau yang semisalnya? Apakah ada perbedaan hukum jika yang bersalaman itu anak muda dan orang tua?
Jawaban:
Tidak diperbolehkan seseorang bersalaman dengan wanita yang bukan mahramnya secara mutlak, baik dengan yang masih muda maupun sudah tua, atau sebaliknya (bagi wanita) tidak boleh pula bersalaman dengan lelaki yang masih muda maupun sudah tua (selama dia bukan mahramnya). Hal ini dilarang karena bisa menimbulkan fitnah bagi kedua belah pihak.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ.
“Sungguh, aku tidak pernah bersalaman dengan wanita yang bukan mahram.”[1]
Aisyah radhiyallahu’anha pernah mengatakan,
مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللهِ ﷺ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالكَلَامِ.
“Tangan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita (yang bukan mahramnya) sama sekali. Beliau membaiat para wanita cukup dengan ucapan.”[2]
Dalam masalah ini pun tidak ada perbedaan, apakah berjabat tangan dengan penutup tangan atau tidak (hukumnya sama; tidak boleh). Hal ini dikarenakan adanya keumuman dalil-dalil yang ada, serta sebagai pencegah timbulnya fitnah.
Sumber:
Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, al-Fataawaa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa-il al-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa al-Balad al-Haraam, Bab: Fataawaa Nisaa-iyyah, no. 9, hal. 1073-1074 (Cet. Pertama, th. 1999M/1420H), disampaikan oleh Syekh Bin Baz, dalam Majallah ad-Da’wah, edisi: 885.
Alih bahasa:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H
[1] HR. An-Nasa’i, dalam kitab al-Bai’ah, no. 4181, Ibnu Majah, dalam kitab al-Jihad, no. 2784, dan Ahmad, no. 26466.
[2] HR. Al-Bukhari, dalam kitab ath-Thalaq, no. 5288, dan Muslim, dalam kitab al-Imarah, no. 1866.